Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik.
Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis
pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau
materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’.
Materi Sosialisasi Kurikulum 2013, Kemendikbud.
Ranah keterampilan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang
‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau
materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’.Hasil akhirnya adalah
peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang
baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan
untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi
aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi
pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan
ilmiah. Pendekatan ilmiah (saintifik appoach) dalam
pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melaui
pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis,
menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran,
materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini
tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti
ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai
atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat
nonilmiah.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik
Pembelajaran saintifik terdiri atas lima langkah, yaitu Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), Networking (membentuk Jejaring/ mengkomunikasikan), seperti tampak pada gambar berikut.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik: (1) MENGAMATI
Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning).
Mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah
pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran
ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan
tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna
serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi
pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran
memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik
menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan
materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
- Menentukan objek apa yang akan diobservasi
- Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
- Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
- Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
- Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
- Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses
pembelajaran meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung.
Dalam kaitan ini, guru harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik
dalam observasi tersebut.
- Observasi biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan observasi (complete observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
- Observasi terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, pada observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendali pelaku atau objek yang diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
- Observasi partisipatif (participant observation). Pada observasi partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta
didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua
cara pelibatan dimaksud yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak
berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
- Observasi berstruktur. Pada observasi berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di bawah bimbingan guru.
- Observasi tidak berstruktur. Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran
hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan
dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape
recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek
atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan
objek atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan
keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record),
catatan berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek
dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau
faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk
mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotal
berupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai
kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek
yang diobservasi. Alat mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai
untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang
ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut ini.
- Cermat, objektif, dan jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
- Banyak atau sedikit serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit kegiatan obervasi itu dilakukan. Sebelum observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
- Guru dan peserta didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan observasi.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik: (2) MENANYA
Guru yang efektif mampu menginspirasi
peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu
pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik.
Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia
mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang
menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh
tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk
“kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan
keduanya menginginkan tanggapan verbal.
Fungsi Bertanya: (1)Membangkitkan rasa
ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau
topik pembelajaran; (2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk
aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya
sendiri; (3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus
menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; (4) Menstrukturkan
tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi
pembelajaran yang diberikan; (5) Membangkitkan keterampilan peserta
didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara
logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar; (6)
Mendorong partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen,
mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan; (7) Membangun
sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau
gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial
dalam hidup berkelompok; (8) Membiasakan peserta didik berpikir spontan
dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul;
dan (9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan
berempati satu sama lain.
Kriteria Pertanyaan yang Baik: (1)
Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4)
Bersifat probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan;
(6) Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7)
Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang
proses interaksi.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik: (3) MENALAR
Istilah “menalar” dalam kerangka proses
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif.
Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus
lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis
dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran
nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah menalar di sini
merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari
reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran.
Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada
Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori
belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam
pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan
mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi
penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa
khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa
lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi
dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia.
Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif
psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau
mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam
ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses
pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi
langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu
dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R). Teori ini dikembangan
kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan
teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh
Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori
Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih
khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau
inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan
berapa hukum dalam proses pembelajaran.
- Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
- Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.
- Hukum kesiapan (The Law of Readiness).
Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan
atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan
belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa
jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan
merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan
belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan
mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi. Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik: (4) MENCOBA
Untuk memperoleh hasil belajar yang
nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan
percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata
pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA
dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus
memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang
alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah
untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba
dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata
untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan
kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara
penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan;
(3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen
sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena
yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat
berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen
yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan
perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan
waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid
(5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen
(6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen
dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan
mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
Langkah-langkah Pembelajaran Saintifik: (5) JEJARING
Jejaring Pembelajaran disebut juga
Pembelajaran Kolaboratif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal,
lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah.
Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia
yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang
dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha
kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan
guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar,
sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran
kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia
menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka
berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi
kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing.
Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin
peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara
bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran
kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru
dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari
penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan
isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
- Guru dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
- Berbagi tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
- Guru sebagai mediator. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
- Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
Materi Sosialisasi Kurikulum 2013, Kemendikbud.
Komentar
Posting Komentar