Buku Seni Rupa SD. 1

  .
Buku Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan ini merupakan salah satu sumber bahan dalam proses pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Seni Rupa bagi mahasiswa PGSD dan PGTK. Materi buku ini telah disempurnakan dari buku Pendidikan Seni Rupa yang diterbitkan tahun 2003 yang lalu. Ada beberapa bagian yang diperbaharui dan disesuaikan dengan kurikulum Kerajinan Tangan dan Kesenian Sekolah Dasar yang berbasis kompetensi.
Pendidikan Seni Rupa yang berfungsi sebagai dasar keilmuan akan memberikan landasan konseptual bagi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Dalam ilmu pendidikan seni rupa, terdapat kerangka teoretik yang sangat berharga bagi penerapan dan pengayaan materi Kerajinan Tangan dan Kesenian di Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Oleh karena itu, pada buku ini tidak sepenuhnya mengacu pada kurikulum Kertakes SD, tetapi lebih luas dan mendasar. Pada bahasan praktika diberikan beberapa pilihan tugas berkarya bagi Guru (calon guru) yang dapat diterapkan dalam mata pelajaran Kertakes.
Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes) diberikan bagi murid SD guna menumbuhkan kepekaan rasa keindahan (estetika) sehingga membentuk sikap kreatif, apresiatif dan kritis. Kertakes memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman berapresiasi dan berkreasi yang dapat menghasilkan suatu benda yang bermanfaat.
Pembelajaran Kertakes memiliki fungsi dan tujuan untuk menumbuhkembangkan berbagai potensi, sikap dan keterampilan (baca Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kertakes, Depdiknas, 2003, halaman 6-8). Fungsi dan tujuan Kertakes adalah:
1. Mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa melalui penelaahan jenis, bentuk, sifat, fungsi, alat, bahan, proses, dan teknik
dalam membuat berbagai produk teknologi dan seni yangberguna bagi kehidupan manusia, termasuk pengetahuan seni dan keterampilan dalam konteks budaya yang multikultural.
2.       Mengembangkan kemampuan intelektual, imajinatif, ekspresi, kepekaan rasa, kepekaan kreatif, keterampilan, dan mengapresiasi/menghargai hasil karya seni dan kerajinan dari berbagai wilayah Nusantara dan mancanegara.
3.       Menumbuhkembangkan sikap profesional, kooperatif, toleransi, kepemimpinan (leadership), kekaryaan (employmentship), dan kewirausahaan (enterpreneurship).
Pada bagian pendahuluan Kurikulum Kertakes untuk SD tahun 2004 dipaparkan juga tentang Standar Kompetensi Bahan Kajian. Kompetensi standar Kertakes adalah:
1.      SENI RUPA. Siswa mampu menggunakan kepekaan inderawi dan intelektual dalam memahami, mepresentasi tentang keragaman gagasan, teknik, materi, dan keahlian berkarya senirupa dua dimensi dan tiga dimensi. Siswa mampu mengunakan rasa estetika dalam mempersepsi, memahami, menanggapi, merefleksi, menganalisis, dan mengevaluasi karya seni rupa Nusantara dan mancanegara. Siswa juga dituntut untuk mampu berekspresi karya seni rupa dengan berbagai teknik dan media seni rupa Nusantara dan mancanegara. Siswa juga harus mampu mengkomunikasikan gagasan, teknik, materi, dan keahlian berkarya seni rupa Nusantara melalui kegiatan pameran dan pergelaran.
2.       KERAJINAN. Siswa mampu mengkomunikasikan persepsi tentang benda jadi atau perkakas buatan manusia (artefak) dan budayanya dari wilayah lokal, Nusantara dan mancanegara, dengan kepekaan inderawi untuk mengasah proses berfikir dalam tahapan memahami, menanggapi, merefleksi, menganalisis, menganalisis, dan mengevaluasi, serta proses merasakan nilai guna dan keindahan dari produk kerajinan (kria) yang disajikan dalam bentuk gambar rencana dan/atau bentuk sebenarnya. Siswa juga ditunut untuk mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kemampuan dalam bentuk karya kreasi benda jadi atau perkakas berdasarkan pengalaman apresiasinya. Siswa mampu menggunakan berbagai bahan alam dan buatan dengan mengutamakan nilai budaya lokal (local genius), nilai guna dan nilai estetika. Kemampuan tersebut dilengkapi dengan keterampilan mengkomunikasikan/menyajikan karya dalam pameran.
3.       TEKNOLOGI. Siswa mampu mengkomunikasikan persepsi sesuai dengan kemampuan pada aspek teknologi dari benda jadi atau perkakas (artefak) atau benda pakai, dengan menggunakan kepekaan inderawi dan mengasah proses berfikir dalam tahapan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi, menanggapi, merefleksi serta proses merasakan nilai teknologi, nilai guna maupun nilai keindahan dari produk yang disajikan dalam bentuk gambar rencana dan atau bentuk sebenarnya.
Siswa juga mampu mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan kemampuan dalam bentuk karya/kreasi benda teknologi berdasarkan pengalaman apresiasi yang didapatnya, menggunakan berbagai bahan alam maupun buatan dengan mengutamakan nilai budaya lokal (local genius), dan nilai teknologi, nilai guna, nilai keindahan dan tata cara dalam pameran.
Bagan berikut ini menggambarkan secara garis besar Standar Kompetensi yang dirancang sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa SD secara optimal dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian.


Bagan: Hubungan Sistemik Konsep Dasar Kompetensi
Bagan di atas menggambarkan hubungan sistemik konsep standar kompetensi dalam Mata Pelajaran Kertakes. Konsep standar kompetensi secara garis besar diarahkan melalui materi pokok seni, kerajinan dan teknologi. Teknologi sebagai materi baru dalam Kertakes tidak bisa dilepaskan dari kesenian dan kerajinan. Sebuah karya seni dan kerajinan membutuhkan teknik baik dalam mengolah media (bahan/alat) maupun dalam mengembangkan pengunaan media tersebut secara optimal melalui kegiatan ekspereimentasi, eksplorasi dan eksploatasi yang bersifat konstruktif. Dalam buku ini kajian teknologi tidak disajikan dalam bentuk bahasan khusus, karena pada dasarnya teknologi akan tercapai melalui kompetensi kerajinan. Yang penting adalah bagaimana para guru mengolah unsur gagasan, tema, dan objek yang bermuatan teknologi atau kerajinan.
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki segala kelebihan dan kesempurnaan, yang sangat berbeda dengan binatang. Binatang berkembang dari masa ke masa secara statis, alamiah, dan dengan perilaku yang naluriah. Manusia berkembang secara dinamis, bergerak dan berubah dari waktu ke waktu karena sejalan dengan perkembangan akal, budi, dan dayanya. Oleh karena itu manusia disebut sebagai mahluk budaya. Mahluk yang menggunakan akal (rasio) dalam berpikir untuk mengembangkan kehidupannya.
Ketika dilahirkan di muka bumi, manusia dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan manusia -ketika dilahirkan- tampak dari keharusannya untuk belajar dan beradaptasi terhadap alam dan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan makhluk hewan yang telah siap hidup dalam alam lingkungannya tanpa harus melalui proses belajar dan adaptasi yang lama. Dalam proses menuju kesempurnaannya, makhluk manusia memerlukan berbagai upaya untuk dapat mempertahankan hidupnya. Upaya yang dilakukan manusia itu merupakan suatu pemanfaatan sejumlah kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan manusia tersebut di antaranya kemampuan otak yang dapat mengembangkan proses berpikir atau berakal budi. Kemampuan berakal budi pada manusia tidak dimiliki jenis makhluk lainnya, sehingga manusia disebut juga sebagai makhluk berakal budi atau makhluk berpikir. Dengan kemampuan berpikir, manusia dapat mengembangkan sistem-sistem yang dapat membantu mempertahankan kehidupannya. Sistem-sistem tersebut adalah sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian). Keseluruhan sistem tersebut dinamakan kebudayaan (Koentjaraningrat, 1990:98).
Keseluruhan sistem tersebut mewujudkan beragam bentuk dan medium yang artifisial, sehingga dalam kehidupannya manusia berhadapan dengan realitas baru yaitu dunia simbol. Menurut Ernst Cassirer (1990) manusia tidak
hanya hidup dalam dunia fisik, tetapi hidup dalam dunia simbolis. Bahasa, mite, seni dan agama adalah bagian-bagian dunia simbolis itu. Cassirer juga menegaskan bahwa manusia selain memiliki kemampuan sistem berpikir, juga memiliki kemampuan sistem simbolis. Dengan sistem ini manusia mengembangkan pemikiran simbolis dan perilaku simbolis sebagai ciri khas manusiawi -yang berbeda dengan binatang. Hal ini terbukti karena manusia membuat dan menggunakan simbol dalam kehidupannya. Kehidupan budaya manusia dengan kekayaan dan ragamnya adalah bentuk-bentuk simbolis. Perkembangan kebudayaan manusia di dunia ini berkaitan erat dengan kemajuan sistem simbolis manusia.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan tidak bisa lepas dengan kehidupan manusia yang lain. Hal ini berarti bahwa manusia dalam mempertahankan hidupnya memerlukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya. Interaksi manusia dalam suatu masyarakat akan berkembang menjadi salah satu kebutuhan (sosial), karena setiap manusia senantiasa memerlukan keberadaan manusia yang lain. Dengan demikian, manusia selain sebagai makhluk budaya juga makhluk sosial.
Kelompok manusia yang terorganisir dalam suatu masyarakat mengembangkan kemampuan berpikirnya untuk menciptakan kebudayaan. Sehingga kebudayaan yang diciptakan masyarakat sebenarnya akan merupakan sistem pengetahuan dan kepercayaan manusia yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalamannya dan persepsi manusia untuk menentukan tindakan dan juga untuk memilih di antara alternatif yang ada (Kessing, 1981:68).
Salah satu unsur (subsistem) kebudayaan yang hidup di masyarakat adalah kesenian. Jika kebudayaan dipandang sebagai sistem pengetahuan atau sistem gagasan, maka konsekuensi logisnya kesenian merupakan sistem pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan yang merujuk pada nilai keindahan. Kesenian yang berkembang dalam suatu kebudayaan masyarakat memiliki nilai- nilai yang bersifat universal. Artinya, bahwa kesenian dapat dipolakan secara sama.
Kesenian merupakan perwujudan dari ekspresi perasaan manusia. Manusia sebagai pencipta seni mengungkapkan perasaannya melalui beragam medium seni, dan karya seni merupakan suatu bentuk perwujudannya. Dalam konteks kesenian, ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu pencipta seni (seniman), penikmat seni (masyarakat), dan karya seni (artifak).
Pencipta seni (seniman) -sebagai bagian dari masyarakat- merefleksikan kehidupan alam, masyarakat dan kebudayaannya dalam wujud karya seni yang sangat beragam, dan unik. Keragaman dan keunikan sebagai akibat dari keragaman kondisi alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Suatu kesenian akan dapat berkembang karena didukung oleh masyarakatnya. Masyarakat berperan sebagai penikmat yang merasakan dampak seni bukan dari perasaan atau pengertiannya tetapi dari imajinasinya. Setiap masyarakat memiliki bentuk kesenian yang berbeda karena masyarakat juga berbeda-beda. Kesenian yang berkembang pada kelompok masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat pedesaan. Kesenian masyarakat modern berbeda pula dengan masyarakat tradisional. Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh sistem nilai, kondisi alam dan lingkungan, serta tatanan sosial- budayga.
Karya seni anak-anak juga dapat dikelompokkan ke dalam karya seni, walaupun ketegasan mengenai seni anak-anak baru dibicarakan dalam wacana pendidikan seni. Artinya bahwa ada semacam dua paradigma dalam kenyataan seni orang dewasa dan seni anak-anak. Atau hal ini mungkin disebabkan oleh pernyataan yang menegaskan bahwa semua anak itu "seniman" atau manusia kreatif, yang memiliki kebakatan universal dalam masa petumbuhan psikologis anak-anak.
Dua Contoh Karya Seni Lukis Anak-anak


B. Pengertian Seni
Seni mempunyai usia yang lebih kurang sama dengan keberadaan manusia di muka bumi ini. Dalam usia yang sangat tua, seni telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan budaya manusia di berbagai belahan bumi, dengan beraneka macam bentuk dan jenis. Walaupun orang telah akrab dengan istilah 'seni', namun terkadang masih belum jelas tentang 'apakah definisi seni itu'.
Herbert Read menyatakan bahwa istilah 'art pada umumnya dihubungkan dengan bagia seni yang biasa ditandai dengan istilah 'plastiC atau 'visual', tetapi semestinya di dalamnya termasuk pula seni sastra dan seni musik.
Beberapa Contoh Karya Seni Rupa Zaman Prasejarah di Indonesia


Sesungguhnya memang terdapat ciri-ciri tertentu yang dapat menandai semua cabang seni, dan sekalipun dalam catatan ini kita hanya berurusan denan seni plastis (seni rupa), namun suatu definisi yang berlaku umum terhadap semua cabang seni akan merupakan suatu titik tolak yang baik bagi penjelajahan kita.
Schopenhauer adalah orang pertama yang menyatakan bahwa semua cabang seni bersumber pada kondisi seni musik; pernyataan ini sering disebut- sebut, sehingga menyebabkan sebagian besar kesalahtafsiran, namun sebenarnya ia mengungkapkan suatu kebenaran yang penting. Sesungguhnya Schopenhauer berpikir tentang kualitas abstrak dari seni musik, dan hampir hanya dalam seni musik saja seorang seniman memiliki kemungkinan untuk menarik perhatian publik secara langsung, tanpa intervensi medium komunikasinya yang sering juga dipakai untuk maksud-maksud lain.
Dalam hal ini kita dapat mengambil beberapa contoh. Seorang Penyair mesti menggunakan kata-kata yang berhubungan erat dengan maknanya dalam dialog sehari-hari. Seorang pelukis biasanya berekspresi dengan pengambaran keadaan dunia ini.
Hanya seorang komponis musiklah yang betul-betul bebas menciptakan karya seni sesuai dengan kesadarannya sendiri, dan dengan tiada tujuan lain kecuali untuk dapat menyenangkan.
Tetapi sebenarnya semua seniman mempunyai tujuan yang sama, ialah untuk menyenangkan, dan secara sederhana Herbert Read menyimpulkan bahwa seni adalah suatu usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.
Bentuk yang menyenangkan berarti memuaskan kesadaran keindahan kita. Rasa indah itu tercapai bila kita bisa menemukan kesatuan atau harmoni dari hubungan bentuk-bentuk yang kita amati. Definisi ini menyatakan pandangan dari segi kebentukan fisik (obyektivitas).
Definisi seni yang sederhana dan sering dilontarkan oleh publik secara umum ialah segala macam keindahan yang diciptakan manusia. Orang memandang bahwa seni merupakan karya keindahan yang menimbulkan kenikmatan. Kenikmatan meliputi aspek kepuasan jasmani-rohani, yang muncul setelah terjadi respon kepuasan dalam jiwa manusia, baik sebagai pencipta (kreator) ataupun penikmat (apresiator).
Kesenian tradisional kita, misalnya gamelan, merupakan paduan suara (nada) yang indah yang mengenakkan telingan (pendengaran). Hiasan ukiran pada suatu dinding kamar memberikan kesemarakan pandangan mata. Tarian Sunda yang lembut dan gemulai juga menyejukkan rasa, setelah kita menikmati dan menghayatinya.
Kini persoalan seni adalah keindahan tidak selamanya bertahan sebagai satu-satunya definisi. Dalam seni kontemporer (termasuk seni modern) yang dihasilkan seniman tidak hanya karya yang indah, tetapi juga karya yang tidak indah dan tidak menyenangkan. Banyak karya seni kini lahir justru bukannya menyenangkan, tetapi memberikan berbagai persoalan yang rumit (sebagai problem kehidupan). Tema dalam seni tumbuh dari manifestasi kesengsaraan, kemelaratan kekacauan atau bahkan protes sosial, dengan berbagai teknik dan


Karya Seni Lukis Dinding Gua (Cave Painting), Zaman Prasejarah di Indonesia
Jika menonton atau menikmati karya seni teater atau musik kontemporer, serasa kita digelitik perasaan, atau dikuras pemikiran kita untuk berupaya menelusuri alur cerita yang absurd (tidak mudah dimengerti, atau tidak berujung pangkal). Kadang-kadang juga dihadapkan pada rangsangan interpretasi (penafsiran) isi/ bentuk seni yang sedang atau sudah kita nikmati.
metode penciptaan yang eksperimental dan bernuansa ekspresif dalam berbagai bentuk ungkapan.
Definisi seni yang lain dapat dijumpai dalam Everyman Encyclopedia, yaitu bahwa seni merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya, melainkan adalah apa saja yang dilakukannya semata-mata karena kehendak akan kemewahan, kenikmatan, ataupun karena kebutuhan spiritual. Sendok dibuat untuk memenuhi kebutuhan pokok, sebagai alat makan. Maka sendok bukanlah karya seni menurut definisi tersebut. Masih banyak karya (benda) yang lain yang kita jumpai, misalnya rumah, pakaian penutup aurat, dan barang yang digunakan untuk kebutuhan pokok hidup kita, yang bukan seni. Yang seni yaitu alat musik gamelan, ukiran kayu, dan lain-lain sejenisnya. Pakaian kita sebagai penutup aurat yang dibuat bukan hanya sebagai penutup atau pelindung fisik, tetapi si perancang (pembuat pakaian) berusaha memperindah motif serta modelnya dengan tujuan untuk menghias pakaian tersebut, tentu saja hiasan atau model pakaian itu merupakan karya seni.


Kapak Bahu, Karya Kria/Kerajinan Zaman Prasejarah: Berfungsi sebagai Perkakas Sehari-hari
Ki Hajar Dewantara seorang tokoh Pendidikan Nasional kita telah membuat definisi seni sebagai berikut: "Seni adalah perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia yang lain, yang menikmati karya seni tersebut" (Ki Hajar Dewantara, 1962:330).
Definisi Ki Hajar Dewantara tersebut sejalan dengan pemikiran Leo Tolstoy yang menyatakan bahwa seni memiliki proses 'transfer offeeling', atau pemindahan perasaan dari si pencipta ke penikmat seni. Dalam hal ini seni merupakan suatu sarana komunikasi perasaan manusia (Tolstoy, 1960:51).
Definisi yang lain, dari pernyataan Akhdiat Kartamiharja, yang menekankan bahwa seni merupakan kegiatan psikis (rohani) manusia yang merefleksi kenyataan (realitas). Karena bentuk dan isi karya tersebut memiliki daya untuk membangkitkan atau menggugah pengalaman tertentu dalam alam psikis (rohani) si penikmat atau apresiator. Bila ditelaah, definisi tersebut mengetengahkan peranan jiwa dalam proses berkarya seni dan karya seni itu sendiri. Seniman yang melukis (menggambar) hanya dengan menggerakkan tangan saja (aktivitas fisik), namun tidak melibatkan jiwa (ekspresi emosi), maka karyanya belum dapat dinamakan seni.
Ahli seni dan filsuf berkebangsaan Amerika, Thomas Munro, mendefinisikan seni sebagai alat buatan manusia yang menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan, imajinasi, yang rasional maupun emosional (Munro, 1963:19). Kedua definisi terakhir tersebut di atas memberikan pernyataan yang sama, yaitu seni sebagai kegiatan psikis (rohani) atau merupakan manifestasi jiwa.
Sudjojono, seorang pelukis zaman revolusi kemerdekaan Indonesia, yang dianggap sebagai pendobrak tradisi seni lukis pemandangan alam, juga menyatakan bahwa seni adalah produk ekspresi jiwa. Seni tanpa jiwa ibarat masakan tanpa garam. Isi karya seni yang hidup tercermin dari kandungan psikis/jiwanya (Yuliman, 1976:9-10).
Popo Iskandar, pelukis akademis, yang pengabdiannya pada dunia seni lukis dan pendidikan seni rupa telah cukup lama, menyatakan bahwa seni merupakan ekspresi yang dikongkritkan dalam kesadaran hidup berkelompok atau bermasyarakat.


Karya Seni Lukis Baru Indonesia, Popo Iskandar: "Empat Macan" (1998)
Karya seni juga memiliki nilai sosial. Kehadiran seni didukung oleh adanya komunikasi antara masyarakat dengan pencipta (seniman). Ekspresi seni yang terwujud menjadi karya seni yang merupakan sarana komunikasi dan dalam upaya berinteraksi sosial. Mustahil karya seni dikatakan keberadaannya tanpa dukungan masyarakat penikmat (apresiator). Justru proses berkesenian merupakan satu kesatuan antar unsur pencipta dan penikmat, hingga terjadi intteraksi apresiatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, seni diartikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya) (Depdikbud, 1989:816).
Masih banyak definisi dari para pakar seni, seniman, guru seni ataupun masyarakat penikmat seni. Secara sementara kita dapat menyusun sendiri definisi seni yang didasari oleh berbagai definisi sebelumnya.
Seni ialah ekspresi perasaan manusia yang dikongkritkan, untuk mengkomunikasikan pengalaman batinnya kepada orang lain (masyarakat penikmat) sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula kepada penikmat yang menghayatinya. Seni lahir karena upaya manusia dalam memahami kehidupan ini, baik kehidupan sosial, ekonomi, alam, dan sebagainya. Ekspresi tersebut dikongkritkan melalui media gerak (tari), suara (musik), rupa, dan penggabungan/peleburan berbagai media akan melahirkan kesatuan estetik. Media berekspresi seni rupa meliputi bentuk, warna, bidang, garis, barik/tekstur, dan unsur-unsur estetik.
Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati sejak zaman Yunani Kuno sampai abad 18 ialah masalah yang berkaitan dengan keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah "Apakah keidahan itu?".
Menurut asal katanya, "keindahan" dalam perkataan bahasa Inggris: beautiful (dalam bahasa Perancis beau, sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal dari kata Latin bellum. Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum. Menurut cakupannya orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (kendahan) dan the beautifull (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja.
Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian yaitu:
a.  Keindahan dalam arti yang luas.
b.   Keindahan dalam arti estetis murni.
c.  Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan.
Keindahan dalam arti yang luas, merupakan pengertian semula dari bangsa Yunani, yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya symmetria ntuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada karya pahat dan arsitektur) dan 'harmonia' untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi: - keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral,
keindahan intelektual. Keindahan dalam arti estetika murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata.
Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut di atas, masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Ini memang merupakan suatu persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kwalita pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kwalita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast).
Ciri-ciri pokok tersebut oleh ahli pikir yang menyatakan bahwa keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan dan perlawanan dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Seorang filsuf seni dewasa ini dari Inggris bernama Herbert Read dalam (The Meaning of Art) merumuskan definisi bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang terdapat diantara pencerapan-pencerapan inderawi kita (beauty is unity of formal relations among our sense-perceptions).
Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure). Misalnya kaum Sofis di Atena (abad 5 sebelum Masehi) memberikan batasan keindahan sebgai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran (that which is pleasant to sight or hearing). Sedang filsuf Abad Tengah yang terkenal Thomas Aquinas (1225-1274) merumuskan keindahan sebagai id quod visum placet (sesuatu yang menyenangkan bila dilihat).
Masih banyak definisi-definisi lainnya yang dapt dikemukakan, tapi tampaknya takkan memperdalam pemahaman orang tentang keindahan, karena berlain-lainannya perumusan yang diberikan oleh masing-masing filsuf. Kini para ahli estetik umumnya berpendapat bahwa membuat batasan dari istilah seperti 'keindahan' atau 'indah' itu merupakan problem semantik modern yang tiada satu jawaban yang benar. Dalam estetik modern orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis, karena ini bukan pengertian abstrak melainkan gejala sesuatu yang konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis. Oleh karena itu mulai abad 18 pengertian keindahan kehilangan kedudukannya. Bahkan menurut ahli estetik Polandia Wladyslaw Tatarkiewicz, orang jarang menemukan konsepsi tentang keindahan dalam tulisan-tulisan estetik dari abad 20 ini.
Karya Seni Rupa Modern Barat, Jackson Pollock



Karya Seni Rupa Baru Indonesia, Affandi


Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880­1934).
Untuk membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan "dianggap" searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.
Yang kini menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai? Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dalam Dictionary od Sociology and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).
Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebut axiology atau kini lebih sering disebut theory of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).
Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory value, yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.
Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita metafisis.
Dalam hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).
Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan "teori keindahan" (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.
Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat. Dikatakan oleh Hegel, bahwa: "Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata "seni" dan "keindahan", kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indahn itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).
Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit.
Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer).
Ada tingkatan basis aktivitas estetik/artistika:
1.   Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara,
gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain.
2.    Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi.
3.    Tingkatan ketiga: susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan juga
dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.


Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetika atau karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah dari karya-karya estetik, melainkan juga menelaah kualitas yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya seni tersebut (The Liang Gie 1976: 51).
Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan hasil interaksi antara karya seni dengan penghayatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam usaha menangkap nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya seni; yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kondisi tersebut, apresiasi bukanlah proses pasif, tetapi merupakan proses aktif dan kreatif, yaitu untuk mendapatkan pengalaman estetik yang dihasilkan dari proses hayatan (Feldman, 1981).
Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan dasar seni rupa, mengenal tentang garis, shape, warna, teksture, volume, ruang dan waktu. Penghayat harus mengetahui secara pasti asas-asas pengorganisasian; harmonis, kontras, gradasi, repetisi, serta hukum keseimbangan, unity dan variaty. Seperti yang dikatakan Stephen. C Pepper dalam The Liang Gie, bahwa untuk mengatasi kemonotonan atau kesenadaan yang berlebihan dan juga aspek konfusi atau kekontrasan yang berlebihan, penyusun karya harus mampu dan berusaha untuk menampilkan keanekaan (variaty) dan kesatuan (unity) yang semuanya tetap mempertimbangkan keseimbangan (The Liang Gie, 1976: 54.)
Kapankah seni lahir ke muka bumi? Andaikan ada pertanyaan seperti itu, maka jawabannya sangatlah mudah, seni lahir sejak manusia berada di planet bumi ini. Bagaimanakah kita membuktikannya? Sejarah telah menunjukkan berbagai fakta tentang perkembangan kesenian sejak zaman prasejarah sampai kini.
Seni prasejarah yang dihasilkan oleh manusia (homo sapiens) pertama, dengan nyata telah memperlihatkan berbagai keunikan. Karya yang dibuat lebih banyak dimaksudkan bagi keperluan hidup sehari-hari, untuk membantu tubuh dalam menghadapi tantangan alam.
Bila kita meneliti artifak peninggalan manusia prasejarah dapat dipastikan bahwa kepercayaan animisme, dinamisme, dan totemisme sudah ada pada saat itu. Kepercayaan tersebut menjadi tenaga pendorong untuk berkarya, dan kita sering mengatakan bahwa karya itu berlatarbelakang magis dan religius. Namun tidak sedikit pula karya seni, khususnya seni rupa, yang dilatarbelakangi kepentingan praktis dan estetis saja.
Benda-benda peninggalan seni prasejarah yang dapat kita catatkan di antaranya:
1. Lukisan gua (cave painting) banyak ditemukan di Eropa dan di Indonesia dengan berbagai gaya dan bentuk, dengan latar belakang magis.
2.       Bejana keramik (gerabah) dengan berbagai motif hias yang menarik untuk kepentingan praktis.
3.       Genderang perunggu untuk kepentingan upacara religi yang dihiasi motif stilasi makhluk hidup dan motif geometris yang artistik.
4.       Hiasan-hiasan tubuh (manik-manik), senjata, serta perlengkapan upacara, termasuk patung-patung kecil dari batu atau logam.
Selain contoh karya yang dituliskan tersebut masih banyak karya seni prasejarah yang lain, baik yang dihasilkan pada zaman paleolitikum, messolitikum, megalitikum, neolitikum, maupun zaman logam. Perlu dicatat juga bahwa karya yang memiliki nilai artistik yang tinggi, terutama pada benda- benda yang tiga dimensional, dihasilkan sejak zaman neolitikum dan zaman logam.
Jika kita ingin mengetahui latar belakang penciptaan karya seni, maka kita harus memahami dorongan utama manusia dalam menciptakan karya seni.
Berdasarkan penelitian, dorongan berkarya seni pada dasarnya meliputi:
1.      Dorongan magis dan religius (keagamaan).
2.       Dorongan untuk bermain.
3.       Dorongan untuk memenuhi kebutuhan praktis (sehari-hari).
Karya Seni Lukis Dinding Gua Zaman Prasejarah Indonesia, Dorongan Magis
Sejak zaman prasejarah ketiga dorongan tersebut telah menjadi titik tolak kelahiran karya seni, dan akan menjadi dasar dalam penciptaan dan pengembangan karya seni. Pada zaman sekarang, seniman berkarya seni didasari berbagai dorongan berdasarkan misi dan visinya.





Relief Arjuna, Zaman Hindu, Bali Karya Seni Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius


Gerbang Pura di Bali Karya Seni Rupa(Arsitektur) dilatarbelakangi Dorongan Religius
Pada bahasan sebelumnya telah kita bicarakan tentang tokoh pelukis Indonesia yang menjadi pendobrak kemapanan seni naturalisme (Mooi Indie, 1900-1940). Selanjutnya kita akan bertanya 'mengapa dia dinamakan sebagai pendobrak?' Dia dinamakan pendobrak karena memperlihatkan kebiasaan baru dalam melukis pemandangan alam, dengan menggunakan tekniknya sendiri, yang menentang teknik dan gaya melukis Mooi Indie.
Gaya lukisan Mooi Indie pada waktu itu memperlihatkan kebakuan teknik (ingat, hampir 40 tahun gaya ini digandrungi para pelukis Indonesia), dan dinamakan gaya naturalisme.
22

Sudjojono yang dididik pada zaman itu merasakan ketidakpuasaan dalam berkarya seni. Bagi Sudjojono, kaidah naturalisme Mooi Indie seolah- olah membendung kebebasan berekspresi. Misalnya cara melukis langit dan
awan, cara menggambar ruang dengan tiga pengaturan pencahayaan dan pengambarannya, cara pewarnaan berbagai obyek, menjadi penghambat untuk menyalurkan perasaannya. Sudjojono ingin bebas lepas dari tradisi lama, karena dia menemukan kepuasaan lain yang baru dengan caranya sendiri. Sudjojono menyatakan bahwa seni adalah 'jiwa ketok', seni adalah ekspresi. Bagi seniman, seni haruslah memberikan kepuasan batin, dan menjadi arena mengungkapkan ide dan gagasannya. Sejak itu ia memproklamirkan diri: 'Saya pergi ke realisme'. Sewajarnyalah bila para kritisi seni rupa memberikan sebutan kepadanya sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, sebab dia memperjuangkan kebebasan pribadinya dalam menentukan idiom berkarya seni secara otonom. Dia dalam berkarya lukis tidak lagi mengaduk cat minyak di palet untuk mewarnai langit, tetapi kadang-kadang dia mencampur cat secara spontan di atas kanvas sehinga menemukan goresan atau pewarnaan yang tidak terduga, dengan kekuatan garis ekspresif yang dinamis. Sejalan dengan konsepsi dan kebiasaan melukis Sudjojono, lahirlah lukisan-lukisan dengan beraneka gaya dan bentuk. Di antaranya lahirlah gaya ekpresionisme Afandi yang dengan jujur menjadikan obyektivitas perasaannnya dalam lukisannya.
Seni memang selalu dihubungkan dengan ekspresi pribadi, sebab seni lahir dari ungkapan perasaan pribadi penciptanya.
Sehubungan dengan nilai ekspresi dalam seni, Herbert Read merumuskan tentang kedudukan ekspresi dalam proses penciptaan seni, sebagai berikut:
-          pertama, pengamatan terhadap kualitas materiil,
-          kedua, penyusunan hasil pengamatan tersebut,
-          ketiga, pemanfaatan susunan itu untuk mengekspresikan emosi atau perasaan yang dirasakan sebelumnya.
Herbert Read juga menyatakan bahwa desain yang estetis sudah cukup dengan dua tahap terdahulu saja, tetapi untuk membuat desain yang estetis itu menjadi karya seni, haruslah ditambah dengan ekspresi. Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa seni adalah susunan yang estetis yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu perasaan atau emosi tertentu.
Berdasarkan analisis Sanento Yuliman, karya seni yang berkembang hingga saat ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori pendekatan, yaitu:
1.      Ada karya seni yang secara tegas didasari ekspresi, dengan pendekatan emosional (intuitif), misalnya karya-karya Affandi, Courbet, van Gogh, Pollock, dan lain-lain.
2.       Ada pula karya seni yang lebih banyak pertimbangan rasional (kalkulasi) atas komposisi garis, warna, bentuk, bidang, warna, dan unsur visual lainnya; karya yang dibuat dengan pendekatan rasional (intelektual) ini misalnya karya Op Art, Kinetic Art, Kubisme, Konstruktivisme, Purisme, dan lain-lain.
Dari segi kebentukan (visual form), kita menyebutnya gaya informal (yang pertama), dan gaya formal atau rasional yang nonlirisisme (yang kedua).


Karya Vincent van Gogh: Street in Auvers Karya Lukis melalui Pendekatan Emosional (intuitif)


Karya Piet Mondrian: Composition with Red, Yellow, and Blue Karya Lukis melalui Pendekatan Rasional (intelektual)
D. Seni dan Keindahan
Definisi seni yang sering kita dengar, bahkan para mahasiswa juga tidak jarang yang masih mengatakan bahwa seni adalah segala keindahan yang diciptakan manusia. Definisi tersebut secara universal dilontarkan orang, karena karya seni di setiap bangsa di dunia ini, dari zaman prasejarah hingga zaman kini mempunyai ciri keindahan. Hubungan seni dan keindahan sangat jelas, terutama ditinjau dari sudut kebentukan karya seni itu. Jika kita memandang lukisan Rembrandt, pelukis Belanda pada masa Barok, keindahan manusia yang dilukiskan memperlihatkan cita rasa (taste) klasik. Begitupun karya Abdullah, pelukis naturalisme kita melukiskan keindahan pemandangan alam yang elok. Pada dinding candi terdapat ornamen (hiasan) yang tampak berkesan indah dan artistik. Patung Michelangelo yang anatomis mempertimbangkan keindahan postur tubuh yang ideal klasik. Masih banyak lagi karya-karya seni yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang dikategorikan sebagai karya seni yang indah.
Namun seandainya kita dihadapkan pada karya Max Beckmann dari kelompok Neue Sachlichkeit (1918) yang berjudul 'Night', menggambarkan keadaan manusia yang menyedihkan, sengsara. Keadaan sengsara, tidak mengenakkan, bukanlah suatu keadaan yang indah, bukan pemandangan yang menyenangkan, namun itu suatu kenyataan hidup. Max Beckmann memang melukiskan suatu 'new objectivity' (obyektivitas baru).
Seniman yang bergaya realisme, sezaman Gustave Courbet,, Edouard manet, Toulouse Loutrec, Francisco de Goya, pada beberapa karyanya lebih banyak mengungkapkan kenyataan (realitas) kehidupan di dunia. Realitas kehidupan di dunia yang ditonjolkan justru sisi kehidupan yang tidak indah. Apalagi pada perkembangan akhir modernisme dewasa ini. Seni seakan dijadikan wahana atau media untuk mengekspresikan ide, pikiran, gagasan dan perasaan individu atau kelompok dalam upaya mengkomunikasikan misi sosial- realistis kepada publik, dengan penampilan visual yang kreatif.
Dari kretaivitas seniman tersebut memperlihatkan sosok karya yang sulit dicerna, jika kita melihat dari segi keindahan bentuk saja. Misalnya bila kita menikmati karya seni eksperimentasi, seni lingkungan, ataupun seni instalasi. Seonggok sampah pun yang ditata sedemikian rupa dan ditempatkan pada suatu ruang pameran bisa dikatakan seni, dengan iringan konsep estetis karya yang disajikan tersebut. Pertanggungjawaban karya secara konsepsional sangat diperlukan untuk memberikan gambaran kejelasan kepada para penikmatnya. Sehingga komunikasi seniman dengan apresiator (penikmat) dijembatani dengan tulisan seniman tentang penalaran ide/gagasan seninya.
Ada pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa tentang bagaimanakah kita menemukan keindahan pada karya seni instalasi. Sebenarnya kita akan sulit menjawab pertanyaan itu, namun secara sementara barangkali kita menjelaskannya bahwa seni itu tidak selalu indah, sebab yang tidak indah pun dinamakan seni. Pada dasarnya seni itu lahir dari curahan emosi seseorang yang berupaya berkomunikasi dengan publlik seni, jadi apapun hasilnya, yang penting di dalamnya terdapat proses berekspresi seni dan komunikasi emosi dengan menggunakan media seni.
Jika kita mempersoalkan keindahan, ada dua kategori yang saling bertentangan. Yang satu bersifat subyektif, yang memandang bahwa indah itu terletak pada diri yang melihat (beauty is in the eye of the beholder). Sedangkan yang satu lagi bersifat obyektif, yang menempatkan keindahan pada barang (benda/karya) seni yang kita lihat. Socrates mengatakan bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir. Pendapat ini termasuk kategori subyektif. Yang indah adalah yang mendatangkan rasa senang tanpa pamrih, dan tanpa adanya konsep-konsep tertentu. Pendapat Immanuel Kant tersebut juga bersifat subyektif.
Teori keindahan subyektif akan sulit menjawab persoalan yang baru muncul, mengapa kita senang terhadap sesuatu. Hal ini akan tergantung pada diri penikmatnya dengan berbagai keunikan pengalaman batinnya yang berbeda dengan penikmat yang lain.
Berbeda dengan keindahan obyektif, sebab struktur visual karya seni (benda tertentu) secara fisik memperlihatkan ciri keindahan itu. Misalnya jika kita mengamati bunga, timbul pertanyaan, mengapa bunga itu indah, maka jawabannya adalah bahwa bunga itu mempunyai warna, bentuk, keharuman dan kehalusan yang memukau. Keindahan obyektif mudah untuk dianalisis atau dideskripsikan. Para pemikir terdahulu yang menempatkan keindahan pada obyek seninya ialah Santo Augustinus, Thomas Aquinas dan Herbert Read. Santo Augustinus mendefinisikan keindahan sebagai kesatuan bentuk. Thomas Aquinas memberikan tiga syarat untuk bisa disebut indah, ialah: (1) adanya integritas atau perfeksi, (2) proporsi yang tepat atau harmonis, dan (3) adanya klaritas atau kejelasan. Sedangkan Herbert Read menegaskan bahwa keindahan ialah kesatuan hubungan bentuk-bentuk.
Jika kita berpendapat bahwa keindahan lukisan itu terletak pada komposisi warnanya, kesatuan bentuknya, keharmonisan irama garisnya, dan integritas bidang secara keseluruhan, maka pendapat kita itu termasuk pendukung teori obyektif. Kesenangan atas keindahan tersebut diletakkan pada obyek (benda) seni yang dinikmati, bukan pada diri penikmat (subyek).
Kalau kita berpendapat sejalan dengan Herbert Read yang obyektif, barangkali kita bisa memahami, mengapa yang menjijikkan, jorok-jorok, kumuh dan kumal pada tema karya seni disebut indah juga. Dasar pertama ialah bahwa keindahan itu terletak pada obyeknya, tidak pada diri penikmat. Pada obyek itu terdapat kualitas tertentu yang tidak selalu harus dihubungkan dengan apapun. Maka yang menjijikkan tidak akan merasa jijik, bila kita tidak menghubungkan (mengasosiasikan) dengan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya yang ada dalam pengalaman kita.
Berbeda dengan Baumgarten dan Immanuel Kant, filsuf Jerman ini membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran ialah kesempurnaan yang kita tangkap dengan rasio (ilmu pengetahuan, misalnya), kebaikan ditangkap dengan moral kita, dan keindahan ditangkap dengan rasa (indera) kita. Sehingga yang menjijikkan dalam karya bisa disebut indah karena fasilitas penangkapannya berbeda.
Keindahan sebuah lukisan harus ditangkap dengan mata, bukan dengan moral. Dalam kenyataan pengamatan bentuk karya, tidak bisa lepas memisah- misahkan antara rasio, moral dan rasa (indera). Sehingga kita bisa merangkum kedua teori itu dalam proses penikmatan terhadap seni.
E. Seni dan Alam
Seni tradisional kita hampir seluruhnya memperlihatkan kedalaman makna dalam sifat kebentukan seninya. Para seniman (artis maupun artisan/perajin) Indonesia masa klasik tidak pernah menciptakan karya seni bertemakan alam secara naturalistik.
Alam yang digambarkan dalam karya seni tidak seseuai dengan penangkapan mata kita (nonvisual realistik). Alam digambarkan secara simbolistis, melalui wujud-wujud tertentu. Patung-patung Budha bukan gambaran orang (ataupun dewa) yang sedang bersemadi, melainkan gambaran ketenangan, keluhuran, atau kesempurnaan sang Budha. Patung Budha tidak realistis, namun cenderung bersifat simbolistis. Perhatikan rambutnya, sikap tangannya, otot-otot dan postur tubuhnya yang nampak tidak menampilkan bentuk anatomis.
Apalagi jika kita mengamati karya wayang kulit, motif hias Toraja, patung Asmat, dan lain-lain. Karya-karya seni rupa tersebut cenderung merupakan pengolahan bentuk dari bentuk alam menjadi karya seni dengan proses stilasi, distorsi, abstraksi, ataupun deformasi.
Bentuk-bentuk abstraksi dan abstrak banyak terdapat pada ornamen (motif hias) karya kerajinan (kriya), misalnya pada keramik, batik, ukiran kayu, perhiasan, anyaman, dan lain-lain. Berdasarkan penelitian, ornamen yang abstrak itupun pada dasarnya mengacu pada bentuk yang ada di alam.
Alam, baik berupa flora, fauna, maupun manusia telah mengilhami seniman dalam mengekspresikan emosinya secara simbolistis (bersifat perlambangan) sejak zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, dan perkembangan selanjutnya, sampai berkenalan dengan seni rupa Barat (gaya naturalisme). Perkenalan dengan gaya seni rupa Barat sebenarnya 'menurunkan' derajat seni rupa Indonesia. Mengapa tidak, sebab seni rupa naturalisme Barat yang intelektualistis itu hanya menyajikan keindahan alam secara kasat mata (visual realistis). Keagungan dan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa tidak tercermin dari kekaryaan tersebut, dan mungkin lebih tepat jika dinamakan 'sebagai potret alam' saja.
Seni rupa Barat yang mulai mencemari khasanah seni rupa Indonesia Klasik, sebenarnya didasari oleh adanya kolonialisme. Tercatat dalam sejarah, Raden Saleh dijadikan sebagai perintis seni rupa baru Indonesia karena membawa napas baru dalam kesenirupaan kita. Seni romantik Raden Saleh diperolehnya dari Eropa (Barat), ketika dia belajar melukis dan tinggal selama lebih dari 20 tahun di negeri itu. Sepeninggal Raden Saleh, gaya romatik di Indonesia tidak sempat berkembang, karena dia tidak memiliki murid atau tidak menurunkannya kepada generasi yang lain.
Cara melukiskan alam secara akurat dengan menitikberatkan pada keindahan alam Indonesia kembali membahana pada tahun 1900 sampai 1940. Selama kurang lebih 40 tahun kesenirupaan Indonesia hidup dengan tema keindahan alam yang naturalistis. Penyebab kecenderungan para pelukis kita gemar melukiskan keindahan alam itu di antaranya karena (1) perkenalan dengan pelukis Barat (Eropa) yang mempengaruhi gaya//teknik naturalisme, (2) konsumen lukisan pemandangan alam berkembang, baik di Indonesia maupun di Eropa, khususnya kaum borjuis, (3) minat pelukis meningkat terhadap gaya/teknik pelukisan pemandangan alam.
Jika ditelusuri sumber sejarah seni rupa naturalisme ialah didasari oleh kebudayaan Yunani (abad ke-6 sebelum Masehi), bersamaan dengan perpindahan kedua nenek moyang kita dari Asia Tenggara ke Indonesia. Yunani telah mamppu meniru alam secara akurat. Karya seni rupa Yunani itu di antaranya patung dewa-dewi yang anatomis, dengan proporsi bentuk yang ideal. Bentuk tersebut dicapainya dengan pertimbangan rasional, yang mewujudkan idealisme dalam pikirannya. Pada masa itu seni berarti meniru alam ( mimesis). Proses peniruan akan berhasil tepat dan baik jika kita menguasai teknik. Teknik bisa dikuasai jika mempelajari ilmu dan teknologi berkarya, misalnya mempelajari ilmu anatomi, perspektif, komposisi, dan ilmu warna, serta ilmu- ilmu lain yang memuat kaidah berkarya seni.
Seni rupa Yunani klasik yang naturalistis itu diwariskan dan dipelajari kembali oleh para seniman pada masa Reneisan (Renaissance) dan gerakan seni selanjutnya yang berpegang pada kaidah klasik.
Dalam menanggapi alam, para seniman memilih sikap yang berbeda. Ada yang meniru alam secara akurat (kasat mata) atau secara fotografis (bergaya naturalisme). Namun ada pula yang mengolah alam dengan berbagai pendekatan dan teknik (misalnya deformasi, stilasi, abstraksi, dsb) dan dengan pandangan subyektifnya terhadap alam. Hal ini yang mendasari munculnya otonomi (kebebasan pribadi) dalam berkarya seni.
Selain itu para seniman juga berupaya mengemukakan keadaan alam ini apa adanya secara realistis (apa adanya sesuai kenyataan hidup). Alam oleh seniman dipandang sebagai tema (subject - matter), kadang-kadang ada yang memandang sebagai motif atau juga dijadikannya sebagai bahan studi.
Bagaimanapun sikap seniman terhadap alam, ternyata kekaryaannya banyak sekali yang mengikat hubungan dengan alam. Sehingga tidak mengherankan jika orang dulu pernah mangatakan bahwa alam adalah guru para seniman atau nature artis magistra.
F. Seni dan Teknologi
Salah satu fungsi seni, selain untuk kepentingan individual dan sosial, adalah untuk mendukung kebutuhan fisik, yang berkaitan dengan perlengkapan kebutuhan sehari-hari seperti: alat rumah tangga, perumahan, teknologi/industri. Keterkaitan seni rupa dengan teknologi tak lepas dari sifat kodrati manusia yang selalu ingin memperoleh kenyamanan, kepuasan dan keindahan. Pakaian yang dipakai tidak cukup hanya sekedar untuk melindungi tubuh, tetapi ingin tampak indah, serasi, mode yang tidak ketinggalan zaman. Orang tidak puas jika rumahnya berbentuk kotak saja, sekalipun memenuhi syarat kesehatan; tetapi ia atur warna catnya, pintunya, plafonnya sesuai dengan seleranya. Demikian juga dalam memilih pakaian, ibu-ibu atau para remaja misalnya berjam-jam keluar masuk toko sekedar ingin membeli satu setel pakaian yang modenya cocok dengan seleranya.
Dengan semakin banyaknya temuan-temuan teknologi, yang menghasilkan begitu banyak barang-barang, maka peranan seni rupa/desain semakin terasa untuk memberi sentuhan estetik terhadap barang-barang tersebut. Sentuhan estetik, khususnya dalam rancang bangun suatu produk menghasilkan nilai tambah yang bersifat psikologis maupun finansial/ekonomik. Sebaliknya, kemajuan teknologi dapat pula dimanfaatkan bagi pembuatan karya seni/desain, misalnya desain atau ilustrasi dengan bantuan program-program komputer. Persoalannya, desainer, arsitek atau ilustrator tidak memiliki kebebasan seperti pelukis dalam membuat karyanya, karena suatu benda atau bangunan memiliki bahan/material khusus dan kegunaan tertentu sebagai benda pakai. Arsitek tak bisa seenaknya merancang bentuk gedung pertemuan tanpa memperhitungkan keamanan dan daya tampung pengunjung. Jadi, masalahnya adalah, bagaimana memadukan bentuk dengan bahan dan fungsi. Dalam hal inilah teknologi dan seni rupa berkaitan sangat erat. Oleh sebab itu, pendidikan seni sejak dini perlu memberi kesadaran kepada siswa -yang di antaranya kelak mungkin ada yang jadi pemimpin, pengusaha, industriawan—bahwa teknologi dan seni memiliki keterkaitan yang erat dan saling menunjang. Seni bukan sekedar sarana ekspresi individual, tetapi juga sarana penunjang kehidupan yang lebih luas, khususnya teknologi, namun orang kebanyakan tidak menyadarinya.
Gambar contoh karya desain produk otomotif berikut ini yang memadukan unsur seni (estetik) dan teknologi modern merupakan konsep terpadu yang mempertimbangkan fungsi, mobilitas, kenyamanan, keindahan, dan keamanan.


Mobil Sedan dan Sepeda Motor Modern yang tampil artistik: bukti adanya sentuhan estetika seni rupa (desain produk) pada karya teknologi automotif
(penerapan unsur bentuk, warna, garis, dengan komposisi yang terpadu)
A. Pengertian Estetika
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit.
Estetika yang berasal dari bahasa Yunani "aisthetika" berarti hal-hal yang dapat dicerap oleh pancaindera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai pencerapan indera (sense of perception). Alexander Baumgarten (1714­1762), seorang filsuf Jerman adalah yang pertama memperkenalkan kata "aisthetika", sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz (1646-1716). Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowledge).
Untuk estetika sebaiknya jangan dipakai kata filsafat keindahan karena estetika kini tidak lagi semata-mata menjadi permasalahan falsafi tapi sudah sangat ilmiah. Dewasa ini tidak hanya membicarakan keindahan saja dalam seni atau pengalaman estetis, tetapi juga gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan sebagainya.
Masalah dalam seni banyak sekali. Di antara masalah tersebut yang penting adalah masalah manakah yang termasuk estetika, dan berdasarkan masalah apa dan ciri yang bagaimana. Hal ini dikemukakan oleh George T. Dickie dalam bukunya "Aesthetica". Dia mengemukakan tiga derajat masalah (pertanyaan) untuk mengisolir masalah-masalah estetika. Yaitu pertama, pernyataan kritis yang mengambarkan,, menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang khas. Kedua pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik atau seni untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik (misalnya: tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak). Ketiga, ada pertanyaan tentang keindahan, seni imitasi, dan lain-lain.
B.   Estetika dan Filsafat
Filsafat merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa bertanya dan mencoba menjawab persoalan-persoalan yang sangat menarik perhatian manusia sejak dahulu hingga sekarang. Salah satu persoalan yang mendasari ungkapan rasa manusia adalah estetika, jika peranannya sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan.
The Liang Gie menyatakan ada enam jenis persoalan falsafi, yaitu:
1.      Persoalan metafisis (methaphysical problem)
2.       Persoalan epistemologis (epistemological problem)
3.       Persoalan metodologis (methodological problem)
4.       Persoalan logis (logical problem)
5.       Persoalan etis (ethical problem)
6.       Persoalan estetika (esthetic problem)
Pendapat umum menyatakan bahwa estetika adalah cabang dari filsafat, artinya filsafat yang membicarakan keindahan.
Persoalan estetika pada pokoknya meliputi empat hal:
1.      Nilai estetika (esthetic value)
2.       Pengalaman estetis (esthetic experience)
3.       Perilaku orang yang mencipta (seniman)
4.       Seni
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batasan rakitan (stucture) dan peranan (role) dari keindahan, khususnya dalam seni. Kemudian muncul pertanyaan: apakah itu seni? Apakah teori tentang seni? Apa keindahan dan teori tentang keindahan? Apakah keindahan itu obyektif atau subyektif? Apakah keindahan itu berperan dalam kehidupann manusia.
C.   Estetika dan Ilmu
Estetika dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan , karena sekarang ada kecenderungan orang memandang sebagai ilmu kesenian (science of art) dengan penekanan watak empiris dari disiplin filsafat..
Dalam karya seni dapat digali berbagai persoalan obyektif. Umpamanya persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk, atau pertumbuhan gaya, dan sebagainya. Penelahaan dengan metode perbandingan dan analisis teoritis serta penyatupaduan secara kritis menghasilkan sekelompok pengetahuan ilmiah yang dianggap tidak tertampung oleh nama estetika sebagai filsafat tentang keindahan. Akhir abad ke-19 bidang ilmu seni ini di Jerman disebut "kunstwissensechaft". Bila istilah itu diteterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah "general science of art".
E.D. Bruyne dalam bukunya Filosofie van de Kunst berkata bahwa pada abad ke-19 seni diperlakukan sebagai produk pengetahuan alami. Sekarang dalam penekanannya sebagai disiplin ilmu, estetika dipandang sebagai "the theory of sentient knowledge". Estetika juga diterima sebagai "the theory of the beautiful of art" atau "the science of beauty".
Sebagai disiplin ilmu, estetika berkembang sehingga mempunyai perincian yang semakin kaya, antara lain:
-          Theories of art,
-         Art Histories,
-         Aesthetic of Morfology,
-          Sociology of Art,
-         Anthropology of Art,
-         Psychology of Art,
-         Logic, Semantic, and Semiology of Art.
Estetika merupakan studi filsafati berdasarkan nilai apriori dari seni (Panofsky) dan sebagai studi ilmu jiwa berdasarkan gaya-gaya dalam seni (Worringer).
Berdasarkan kenyataan pendekatan ilmiah terhadap seni, dalam estetika dihasilkan sejarah kesenian dan kiritk seni. Sejarah kesenian bersifat faktual, dan positif, sedangkan kritik seni bersifat normatif.
Patung Karya Zaman Majapahit,


Fakta Evolusi Bentuk Patung dan Figur manusia, temuan jatidiri Seni Rupa Indonesia
Sejarah kesenian menguraikan fakta obyektif dari perkembangan evolusi bentuk-bentuk kesenian, dan mempertimbangkan berbagai interpretasi psikologis. Kritik seni merupakan kegiatan yang subyektivitas pada suatu bentuk artistik juga moralnya sebagai pencerminan pandangan hidup penciptanya (seniman). Pertimbangan berdasarkan ukuran sesuai dengan kebenaran berpikir logis. Maka kiritk hampir selalu mengarah pada filsafat seni. Baik sejarah maupun kritik seni dituntut pengenalan sistem untuk mengenal seni dan kesenian.
D. Pengertian Keindahan dalam Seni
Keindahan (beauty) merupakan pengertian seni yang telah diwariskan oleh bangsa Yunani dahulu. Plato misalnya, menyebut tentang watak yang indah dan hukuman yang indah. Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan dalam arti estetis yang disebutnya "symmetria" untuk keindahan visual, dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (auditif). Jadi pengertian keindahan secara luas meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.
Herbert Read -dalam bukunya The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai suatu kesatuan arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan inderawi kita. Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai suatu yang menyenangkan bila dilihat.
Kant secara eksplisit menitikberatkan estetika kepada teori keindahan dan seni. Teori keindahan adalah dua hal yang dapat dipelajari secara ilmiah maupun filsafati. Di samping estetika sebagai filsafat dari keindahan, ada pendekatan ilmiah tentang keindahan. Yang pertama menunjukkan identitas obyek artistik, yang kedua obyek keindahan.
Ada dua teori tentang keindahan, yaitu yang bersifat subyektif dan obyektif, Keindahan subyektif ialah keindahan yang ada pada mata yang memandang. Keindahan obyektif menempatkan keindahan pada benda yang dilihat.
Definisi keindahan tidak mesti sama dengan definisi seni. Atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan. Menurut kaum empiris dari jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Reaksi atas intelektualisme pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris adalah mengembalikan peranan seni (ingat kelahiran gerakan Bauhaus yang terlibat pada perkembangan seni dan industri di Eropa).
Dari pandangan tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari tiga pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di satu pihak menekankan pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada upaya subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.
Bila mengingat kembali pandangan klasik (Yunani) tentang hubungan seni dan keindahan, maka kedua pendapat ahli di bawah ini sangat mendukung hubungan tersebut; Sortais menyatakan bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat obyektif dari bentuk (l'esthetique est la science du beau). Lipps berpendapat bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subyetif atau pertimbangan selera (die kunst ist die geflissenliche hervorbringung des schones).
E. Estetika Klasik Barat: Seni adalah Mimesis
Plato menempatkan seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu karya indah) sebagai suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni) tersebut harus memiliki keteraturan dan proporsi yang tepat.
Aristoteles memandang estetika sebagai "the poetics" yang terutama merupakan kontribusi terhadap teori sastra daripada teori estetika. Sebenarnya secara prinsip Aristoteles dan Plato berpandangan sama yaitu membuat konklusi bahwa seni merupakan proses produktif meniru alam. Aristoteles juga mengembangkan teori "chatarsis" sebagai suatu serangan kembali terhadap pendapat Plato. Chatarsis, dalam bentuk kata Indonesia "katarsis" adalah penyucian emosi-emosi menakutkan, menyedihkan dan lain-lain.
v
Patung karya Pheidias, zaman Yunani Klasik. Estetika Klasik: Naturalisme


F. Estetika Abad Pertengahan
Abad pertengahan merupakan abad gelap yang menghalangi kreativitas seniman dalam berkarya senii. Agama Nasrani (Kristen) yang mulai berkembang dan berpengaruh kuat pada masyarakat akan menjadi "belenggu" seniman.
Gereja Kristen lama bersifat memusuhi seni dan tidak mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu. Seni mengabdi hanya untuk kepentingan gereja dan kehidupan sorgawi. Karena memang kaum gereja beranggapan bahwa seni itu hanyalah/dan selalu mmemperjuangkan bentuk visual yang sempurna (idealisasi). Manusia merupakan pusat penciptaan. Segala sesuatu karya kembali kepada manusia sebagai subyek matternya. Hal ini dinamakan anthroposentris.
Tokoh Renesans (dari kata Renaissance), Leon Battista mengatakan bahwa lukisan adalah penyajian tiga dimensi. Ia menekankan penggambaran yang setia dan konsisten dari subyek dramatik sebuah lukisan.
Battista berpendapat pula bahwa seniman harus mempelajari ilmu anatomi manusia, dan kaidah-kaidah teknik senirupa yang lain. Dengan kata lain, seniman perlu mengikuti pendidikan khusus, selain mengembangkan bakat seninya. Pandangan ini pun diikuti para ahli lainnya dan para seniman di jaman initermasuk Leonardo dan Vinci. Istilah akademis dalam seni mulai tampak dirintis, karena ada usaha para seniman untuk mengembangkan ilmu seni secara rasional (teori yang berlandaskan kaidah seni klasik Yunani/Romawi).
Relief dan Patung pada dinding Katedral, Estetika Abad Pertengahan




G. Estetika Pramodern
Anthony Ashley Cooper mengembangkan metafisika neoplatoistik yang memimpikan satu dunia yang harmonis yang diciptakan oleh Tuhan. Aspek- aspek dari alam yang harmonis pada manusia ini termasuk pengertian moral yang menilai aksi-aksi manusia, dan satu pengertian tentang keindahan yang menilai dan menghargai seni dan alam. Keagungan, termasuk keindahan merupakan kategori estetika yang terpenting
David Hume lebih banyak menerima pendapat Anthony tetapi ia mempertahankan bahwa keindahan bukan suatu kualitas yang objektif dari objek. Yang dikatakan baik atau bagus ditentukan oleh konstitusi utama dari sifat dan keadaan manusia, termasuk adat dan kesenangan pribadi manusia. Hume juga membuat konklusi, meskipun tak ada standar yang mutlak tentang penilaian keindahan, selera dapat diobyektifkan oleh pengalaman yang luas, perhatian yang cermat dan sensitivitas pada kualitas-kualitas dari benda.
Karya Lithograph, Daumier, gaya realisme Estetika Pramodern: ekspresi yang cenderung otonom
Immanuel Kant, seperti Hume, bertahan bahwa keindahan bukanlah kualitas objektif dari objek. Sebuah benda dikatakan indah bila bentuknya menyebabkan saling mempengaruhi secara harmonis, diantara imajinasi dan pengertian (pikiran). Penilaian selera maknanya subjektif dalam arti ini.




H. Estetika Kontemporer
Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam sebuah sistem filosofis dari idealisme. Segala sesuatu yan indah adalah ideal, yang merupakan aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran dibagi menjadi dua yaitu yang teoritis (logika dan estetika), dan yang praktis (ekonomi dan etika).
Menurut Croce, estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif. Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam pikiran seniman. Teori ini menyamakan seni dengan intuisi. Hal ini jelas menggolongkan seni sebagai satu jenis pengetahuan yang berada dalam pikiran, satu cara menolong penciptaan kembali seni di alam pikiran apresiatoor.
Filsuf Amerika, George Santayana, mengemukakan sebuah estetika naturalistis. Keindahan disamakan dengan kesenangan rasa, ketika indera mencerap obyek-obyek seni.
Clive Bell memperkenalkan lukisan-lukisan Paul Cezanne dan seniman modern lainnya kepada publik Inggris. Menurut pendapatnya, bentuk sangat penting dan merupakan unsur karya seni yang bisa menjadikan karya itu bernilai atau tidak.


Lukisan Paul Gauguin (pelopor seni rupa modern Barat, simbolisme),
sezaman dengan Paul Gauguin (awal abad XX) : "Seni bukan meniru alam, tapi menggubah alam menjadi karya seni"
I. Estetika Timur
India merupakan negara dan bangsa yang memiliki pandangan seni (dan estetika) yang berbeda dalam beberapa hal dengan bangsa Eropa. Sebagai contoh, penggambaran patung di Barat (Eropa) yaitu pada jaman Yunani, merupakan bentuk manusia ideal, atau mengutamakan keindahan bentuk. Di India patung tidak selalu serupa dengan manusia biasa, misalnya Durga, Syiwa dengan empat kepala, dan lain-lain. Padahal temanya yaitu penggambaran patung dewa. Perbedaan ini akan lebih jelas, sebab seniman India harus mengikuti modus tertentu seperti yang diterangkan di dalam "dyana" untuk menggambarkan macam-macam dewa Hindu atau Budha. Dyana berarti meditasi, merupakan proses kejiwaan dari seseorang yang berusaha untuk mengontrol pkiran dan memusatkan pada suatu soal tertentu yang akhirnya akan membawanya pada semadi. Sifat-sifat visual dari gambaran di atas (dalam semadi) kemudian di tulis dalam Silvasastra. Buku inilah yang menjadi pedoman berkarya selanjutnya. Elemen yang penting dalam senirupa adalah intuisi mental dan sesuatu hal yang dikonsepsikan dan personalitas seniman menyatu dengan obyek. Inilah hasil meditasi (dyana). Seni bukan merupakan imitasi dari alam. Teknik proporsi, perpektif, dsb diterangkan dalam Visudgarmottarapurna dan Chitra Sutra. Dalam Chitra Sutra penggambaran yang penting adalah kontinyuitas garis tepi yang harmonis, ekspresi, dan sikap yang molek. Di India juga mementingkan sikap dan bentuk yang simbolistis (perlambangan).
Ada beberapa pendapat para ahli India di antaranya:
-          Keindahan adalah sesuatu yang menghasilkan kesenangan. Seni diolah melalui proses kreatiff dari pikiran menuju pada penciptaan obyek yang dihasilkan oleh getaran emosi. Inti keindahan adalah emosi (ini pendapat Joganatha).
-         Pendapat lain mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang memberikan kesenangan tanpa rasa kegunaan.Yang menyebabkan rasa estetik adalah faktor luar dan faktor dalam (pendapat Rabindranath Tagore). Ia juga menerangkan untuk sebuah sajaknya,, bahwa ia tidak dapat menerangkan bekerjanya proses alamiah yang misterius itu, tetapi seolah- olah terjadi dengan sendirinya. Nampaknya ada sesuatu di atas kekuasaannya sendiri yang siap menuntun impulsinya dalam suatu jalan sehingga memungkinkan memberi bentuk pada pandangan intuisinya dari dalam.
Jelaslah bahwa seniman yang menciptakan obyek keindahan atau seni adalah didorong oleh potensi teologis.



Patung Budha. Simbolistis, lambang keluhuran budi pekerti

A. Pendidikan Seni
dalam Kurikulum Sekolah
Pada bahasan pertama dipaparkan sekilas tentang seni dan pengertiannya. Bahasan tersebut merupakan pengetahuan dasar menuju wawasan seni dan konsep keindahan dalam seni. Melalui pemahaman terhadap wawasan seni tersebut diharapkan menjadi suatu landasan untuk mengembangkan pemikiran kita tentang seni dan pendidikan seni dengan berbagai persoalannya.
Pendidikan seni di negara kita telah mengalami berbagai pembaharuan dari waktu ke waktu. Pembaharuan dilakukan guna meningkatkan kualitas pendidikan seni. Salah satu usaha pemerintah yang secara sentral memperbaharui sistem pelaksanaan pendidikan seni adalah penyempurnaan kurikulum.
Kurikulum yang sedang dilaksanakan senantiasa dievaluasi dan disempurnakan setiap periode tertentu untuk menghadapi perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan dinamika kebudayaan secara keseluruhan. Kurikulum Pendidikan Seni telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyempurnaan. Pada tahun 1975 terjadi perubahan yang menyeluruh pada mata pelajaran ekspresi, yang sebelum itu dalam kurikulum sekolah umum dikenal dengan nama mata pelajaran menggambar dan seni suara. Pembaharuan dapat dilihat dengan penggantian nama mata pelajaran itu menjadi 'Pendidikan Kesenian'.
Istilah mata pelajaran juga diganti menjadi 'bidang studi', sehingga pembaharuan itu selengkapnya menjadi 'bidang studi pendidikan kesenian'. Isi bidang studi pendidikan kesenian itu merupakan penggabungan pelajaran menggambar dan seni suara ditambah sub bidang studi lain yaitu seni tari dan teater, yang pada kurikulum sebelumnya tidak ada. Pelajaran menggambar dan seni suara diubah namanya menjadi seni rupa dan seni musik. Selengkapnya bidang studi pendidikan kesenian berisi sub-sub bidang studi seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater (drama).
Kurikulum 1975 disempurnakan lagi pada tahun 1984 dengan sebutan kurikulum 1984. Penyempurnaan ini ditandai oleh penggantian istilah pendidikan kesenian menjadi pendidikan seni.
Kurikulum 1994 Sekolah Dasar yang berlaku sekarang sangat jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan itu meliputi sistem pembelajarannya yang menggunakan 'integrated learning' atau pembelajaran terpadu antara beberapa cabang seni. Nama pendidikan seni berubah pula menjadi 'Kerajinan Tangan dan Kesenian'. Ruang lingkup materi kerajinan tangan meliputi berbagai kegiatan sederhana kerumahtanggaan yang mudah dilakukan oleh anak-anak untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan termasuk di dalamnya pekerjaan kesenirupaan. Sedangkan yang dimaksud kesenian meliputi seni tari (seni gerak), seni musik (seni suara). Antara pengajaran kerajinan tangan dan kesenian dianjurkan menjadi suatu larutan yang benar- benar terpadu dan terintegrasi dalam satu topik (bahasan) pengajarannya. Pengajaran terpadu dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian (disingkat: KTK) ini bermuatan wawasan kedaerahan (muatan lokal), sebab di dalamnya diharapkan para guru dan siswa mampu menggali seni kriya (kerajinan) yang tumbuh di daerah sekitarnya.
Seni kerajinan sebagai cabang seni rupa merupakan seni yang tertua dan bahkan mengakar di setiap pelosok daerah Nusantara ini. Perkembangan seni kerajinan tradisional ini diangkat menjadi prioritas karena ternyata dunia pariwisata serta konsumsi kesenian dunia lebih tertarik terhadap seni kerajinan tradisional yang berkembang di daerah. Selain seni kerajinan tersebut unik, juga mencerminkan citra estetik khas daerah tertentu, dan menjadi salah satu identitas budaya bangsa kita.
Jika diteliti perubahan nama sub-sub bidang studi pada setiap kurikulum yang disempurnakan, ternyata perubahan itu tidak hanya sekedar penggantian nama, akan tetapi mengubah pula ruang lingkup pengajarannya. Perubahan itu dilandasi oleh konsep dasar pendidikan yang berbeda pada setiap kurikulum. Konsep pendidikan seni yang sekarang kita kenal jauh berbeda dengan konsep pendidikan (mata pelajaran) menggambar dan seni suara. Perubahan konsep tentu membawa konsekuensi didaktis dan metodis yang menuntut berbagai persyaratan yang harus dipenuhi jika kita ingin melaksanakan pendidikan seni dengan memadai.
B. Sifat dan Domain (ranah) Pendidikan Seni
1. Sifat Pendidikan Seni
Pendidikan seni dikatakan memiliki sifat multi dimensional, multilingual dan multikultural, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang bervariasi dalam rangka meningkatkan kepekaan rasa estetis, pemahaman serta kemampuan artistik individu maupun menumbuhkembangkan saling pengertian dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan seni mengembangkan kemampuan dasar manusia dalam dimensi fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (Victor Lowenfeld, 1984). Berbagai jenis kecerdasan manusia (kecerdasan emosi, kecerdasan intelektual, kecerdasan kreatif, kecerdasan moral, kecerdasan spitritual) mampu dioptimalkan melalui pendidikan.seni. Melalui pengembangan berbagai kemampuan tersebut, kepribadian anak diharapkan dapat berkembang sehingga mereka memiliki kesiapan untuk belajar. Pendidikan seni di setiap tingkat pendidikan dapat membentuk manusia yang mengembangkan kepekaan estetis, daya cipta, intuitif, imajinatif, inovatif dan kritis terhadap lingkungannya.
Pendidikan seni mengembangkan kemampuan manusia dalam berkomunikasi melalui bermacam ragam bahasa di samping bahasa verbal. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa untuk berekspresi dan berkomunikasi secara visual atau rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya. Selain itu, seni merupakan bahasa rasa dan citra atau image. Bila dalam bahasa verbal terdapat kosa kata maka dalam berbahasa seni terdapat kosa rupa, bunyi dan gerak serta citra atau image yang berkaitan dengan isi atau obyek dan cara (Primadi T, 1999). Di samping itu bila dalam bahasa verbal terdapat tata bahasa maka dalam seni terdapat tatanan artistik dan estetik ((Goldberg M. dalam Camaril, 2001).
Seni, baik sebagai kreasi individu maupun kelompok, merupakan bagian dan sekaligus cerminan dari suatu kebudayaan. Beragamnya kebudayaan di dunia -juga di Nusantara-- mengakibatkan beragam pula kesenian yang ada di dalamnya. Keragaman budaya sekaligus pula menimbulkan daya tarik (karena jika seni itu seragam akan membosankan).
Pendidikan seni memupuk rasa persaudaraan dan saling menghargai sesama manusia, serta menumbuhkan rasa bangga pada budaya yang dimiliki maupun budaya orang lain. Penghargaan dan kebanggaan terhadap keragaman budaya Nusantara merupakan salah satu tugas pendidikan seni. Dengan begitu maka seni yang bersifat multikultural ini dapat pula dijadikan dasar pemersatu bangsa
3. Domain (Dimensi Perilaku) dalam Pendidikan Seni
Kegiatan pendidikan di sekolah hendaknya mencakup dan memperhatikan berbagai dimensi perilaku. Brent G. Wilson (Bloom, 1975) mengemukakan tiga dimensi perilaku dari Bloom, yaitu : kognitif, affektif dan psikomotorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni yang meliputi : Persepsi, Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi dan Produksi.
Keseluruhan aspek dalam dimensi ini sifatnya berjenjang dan perlu dipelajari siswa melalui kegiatan seni yang bermacam ragam. Ke tujuh dimensi perilaku seni ini dapat dipadukan namun perlu ada fokus pembelajaran agar penyusunan rencana pengajarannya dapat menggambarkan distribusi pengembangan masing-masing aspek.
Keseluruhan aspek dalam dimensi perilaku seni ini perlu dilatihkan pada siswa secara bersinambungan sejak awal. Perbedaan penekanan dalam pengembangan perilaku ini perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan seni sehingga proporsi bobot dari setiap aspek yang perlu dicapai akan berbeda.
Dalam kenyataan di lapangan kebanyakan guru terjebak pada kompetensi akhir dari seluruh perilaku belajar seni, yaitu produksi. Mereka jarang bahkan tidak mengolah terlebih dulu kepekaan indrawi dan rasa tetapi langsung menugaskan siswa berkarya. Ini bukan berarti segala sesuatunya harus dimulai dari penjelasan verbal. Yang penting, produksi hendaknya ditindaklanjuti dengan apresiasi, bahkan pada saat produksi dapat berlangsung dialog khususnya jika anak mengalamai kesulitan atau terhambat spontanitasnya. Jika tidak, siswa mungkin hanya akan terampil secara teknis tanpa kurang dalam kepekaan rasa estetis , imajinatif clan kreatif.
Dalam meningkatkan kemampuan apresiasi, siswa hendaknya tidak hanya diberi pengetahuan tentang berbagai cara berkarya atau hasil karya seni tetapi juga dibiasakan mengidentifikasi, menguraikan, merasakan/empati, sampai pada menilai dalam tahap elementer, yaitu mengungkapkan di mana aspek-aspek yang menarik dari hasil karya.
C. Seni sebagai Media Pendidikan
Pernahkan kita menyaksikan anak-anak (di bawah usia 10 tahun) yang sedang bermain bersama temannya atau bermain sendirian? Betapa asyik anak- anak bermain 'rumah-rumahan', bermain 'mobil-mobilan', dan aneka permainan yang disukainya. Mereka bermain sambil berbicara, berpura-pura seperti orang dewasa. Mereka menirukan gerak-gerik dan perilaku orang tuanya dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari. Benda-benda yang tidak terpakai lagi seperti kotak korek api, kotak sabun, dan berbagai peralatan sederhana yang mudah dijumpainya di rumah, dijadikannya 'teman bermain'. Benda-benda mati itu dianggapnya sebagai benda yang hidup, dan bisa diajak bicara. Betapa anak- anak dalam dunianya itu penuh imajinasi dan fantasi.
Dengan daya imajinasi dan fantasi itulah anak-anak juga mampu mengembangkan kemampuan penciptaan permainannya sesuai dengan pengaruh lingkungan dan pendidikan keluarga yang diterimanya.
Kegiatan bermain merupakan kegiatan jasmani dan rohani yang penting untuk diperhatikan oleh pendidik (dan orang dewasa). Sebagian besar perkembangan kepribadian anak, misalnya sikap mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial dan fisik, dibentuk oleh kegiatan permainannya. Permainan anak-anak yang bernilai edukatif dapat dilakukan melalui kegiatan seni, khususnya seni rupa. Pengertian seni pada dasarnya adalah permainan yang memberikan kesenangan batin (rohani), baik bagi yang berkarya seni maupun bagi yang menikmatinya (Rohidi, 1985:81. Keterkaitan seni dengan permainan juga dijelaskan oleh Ross (1978).
Salah satu kegiatan seni rupa, sebagai permainan, yang sangat disukai anak-anak ialah kegiatan menggambar. Hampir setiap anak yang diberi alat tulis akan menggoreskannya pada bidang kosong. Jika diberi kertas, dia akan menggoreskannya pada kertas dengan sesuka hati. Jika tidak diberikan kertas, dia akan mencoretkannya pada dinding atau lantai rumah. Keasyikan menggambar anak-anak itu merupakan bukti bahwa menggambar baginya sangat memuaskan dan menyenangkan perasaan. Menggambar bagi anak-anak dapat juga menjadi alat berkomunikasi dan berekspresi yang utuh sesuai dengan dunianya. Gambar manusia, benda-benda di sekelilingnya serta aneka flora dan fauna kesenangannya merupakan hasil ekspresinya, dan menjadi media berkomunikasi dengan orang lain.
Anak-anak yang penalarannya belum berkembang sangat bergairah berkarya seni, karena kegiatan ini memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi anak-anak untuk mengungkapkan perasaan atau berekspresi. Ketika penalarannya bangkit, seni harus dipersiapkan untuk memberikan jalan bagi ekspresi tersebut sebagai kegiatan yang mereka senangi (Read, 1970:283). Dalam konteks itulah seni dijadikan media pendidikan. Faedah pendidikan seni, sebagaimana dikemukakan Vincent Lanier (1969) adalah:
a.       memberikan kontribusi terhadap perkembangan individu,
b.       memberikan pengalaman yang berharga (pengalaman estetik),
c.       sebagai bagian yang penting dari kebudayaan.
Jika pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan orang dewasa dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaannya, maka tentunya pula seni rupa dapat digunakan sebagai cara dan sekaligus media untuk mendidik anak. Jadi makna pendidikan dengan menggunakan seni rupa sebagai cara dan sekaligus sebagai sarananya. Pada bagian ini perlu dijelaskan perbedaan makna antara pendidikan seni rupa dengan pengajaran seni rupa agar tidak sampai menimbulkan kesalahtafsiran dalam penggunaan istilah tersebut.
Sasaran pendidikan rupa di sekolah-sekolah umum, dari tingkat pendidikan dasar sampai menengah, berbeda dengan sasaran pendidikan seni rupa di sekolah kejuruan, kursus atau pusat magang kesenirupaan dan kriya. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam bagan berikut :
USAHA                                        USAHA


Di sekolah kejuruan seni rupa, berlaku pengajaran seni rupa yang lebih mengutamakan pemberian bekal kepada para siswa agar berhasil sebagai lulusan yang memiliki kemampuan/keterampilan bidang seni rupa tertentu. Sedangkan di sekolah umum, pendidikan seni rupa yang diberlakukan kepada semua siswa, (berbakat maupun tidak) lebih ditekankan kepada pemberian berbagai pengalaman kesenirupaan sebagai wahana untuk mencapai tujuan pendidikan. Seni berfungsi sebagai media pendidikan.
Akan tetapi, istilah "seni sebagai media pendidikan" tidak berarti bahwa kegiatan seninya tidak penting (karena dianggap hanya sekedar media). Keterlibatan siswa dengan seni tetaplah harus menjadi prioritas dalam rangka membentuk kemampuan seni atau meningkatkan kemampuan seni yang sudah ada pada diri para siswa. Upaya peningkatan kualitas belajar menjadi fokus kegiatan; dan ini berlaku umum dalam program belajar apa pun.
Sebagai pembanding, tujuan utama orang belajar naik sepeda adalah supaya ia bisa naik sepeda; belajar silat supaya bisa silat, belajar Tembang Cianjuran supaya bisa melantunkan lagu-lagu Cianjuran yang memiliki karakteristik tertentu. Kemampuan khusus yang diperoleh itu tadi merupakan tujuan langsung dari belajar yang disebut sebagai "dampak utama" (main effect) atau "dampak pembelajaran" (instructional effect) yang ingin dicapai . Bahwa akibat dari belajarnya itu ia menjadi tekun, sabar atau sehat, itu adalah dampak penyerta/pengiring (nurturant effect) yang tentu saja tidak kurang manfaatnya bagi kepentingan pribadi warga belajar.
Dalam pembelajaran di sekolah, khususnya pembelajaran seni, dampak instruksional maupun dampak pengiring perlu dirancang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Pendidikan seni rupa melalui pembelajaran di sekolah, berikut dampak utama dan dampak penyerta yang ingin dihasilkan, dapat digambarkan sebagai berikut:


Konsekuensi logis dari pemikiran di atas adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan seni harus berkualitas. Pendidikan seni rupa bukan sekedar kegiatan rutin, sekedar untuk mengisi jam pelajaran yang tersedia. Siswa harus merasa bahwa dari kegiatan-kegiatan kesenirupaan di sekolah, ada hasil nyata yang dia perloleh, ada peningakatan atawa kemajuan yang ia capai: dari tidak tahu menjadi tahu, dari kurang senang menjadi senang, dari tidak terampil menjadi lebih terampil, dari kurang bisa menata menjadi lebih bisa menata, dari kurang bisa membedakan menjadi lebih bisa membedakan (berbagai hal yang menyangkut kesenirupaan). Secara kodrati, kita semua, khususnya para siswa, tentu tidak menyukai kegiatan remeh-temeh, kegiatan yang tidak berkualitas, yang hanya membuang-buang waktu.
D. Pendekatan Berbasis Disiplin Ilmu dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan seni rupa berbasis disiplin ilmu (dicipline based art education, disingkat DBAE) berintikan pemikiran bahwa seni telah hadir dalam kehidupan bukan hanya sebagai kegiatan penciptaan, tetapi juga sebagai cabang pengetahuan yang menjadi bahan kajian filosofis maupun ilmiah dan berhak dipelajari di lembaga pendidikan. Seni adalah disiplin ilmu yang khas dengan karakter yang dimilikinya, mendapat dukungan kelompok ilmuwan, dikembangkan melalui penelitian.
Pendukung Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin berpendapat bahwa pendidikan seni rupa yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan ernosinya adalah penting, tetapi jangan sampai mengabaikan kegiatan mempelajari aspek pengetahuan keilmuannya. Cakupan pendidikan seni rupa perlu diperluas. Eisner (1987/1988) menegaskan bahwa Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin bertujuan untuk menawarkan program pembelajaran yang sistematik dan berkelanjutan dalam empat bidang seni rupa yang lazim dalam kenyataan yaitu bidang penciptaan, penikmatan, pemahaman, dan penilaian. Keempat bidang tadi disampaikan dalam kegiatan belajar: produksl seni rupa, kritik seni rupa, sejarah seni rupa dan estetika. Anak hendaknya tidak hanya diberi kesempatan untuk berekspresi/ menciptakan karya seni rupa tetapi juga perlu mempelajari bagaimana caranya menikmati suatu karya seni rupa serta memahami konteks dari sebuah karya seni rupa dari berbagal masa. Pelaksanaannya tidak harus terpisah tetapi dapat dipadukan.
Pendidikan Seni Rupa Berbasis Disiplin merupakan suatu pendekatan dan bukan merupakan suatu metode yang spesifik, maka wujud penampilannya dapat yang bervariasi. Yang jelas, sasarannya adalah adanya peningkatan kemampuan anak dalam berbagai bidang kegiatan tersebut. Ciri DBAE adalah : 1. Seni rupa sebagai subyek dalam pendidikan umum dengan kurikulum yang tertulis serta disusun secara sistematis mencakup kegiatan ekspresi/kreasi, teori, dan kritik/apresiasi seni rupa, untuk membangun pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan.
2.       Kemampuan anak dikembangkan untuk: menghasilkan karya, menganalisis, menafsirkan, dan menilai kualitas karya, mengetahui dan memahami peran seni rupa dalam masyarakat serta memahami keunikan karya seni rupa dan bagaimana orang memberikan penilaian dan menguraikan alasan penilaian tersebut.
3.       Seni Rupa diimplementasikan dengan dukungan masyarakat, staf pengembang, nara sumber, dan program penilaian (Dobbs, 1992).
E. Pendekatan Kompetensi
dalam Pendidikan Seni Rupa
Pendekatan kompetensi sering dianggap sebagai reaksi atas pendekatan yang mengacu kepada materi (termasuk DBAE ?). Tetapi jika direnungkan sebetulnya arahnya sejalan, karena materi yang dipilih pada dasarnya dijabarkan dari kompetensi yang diharapkan. Bedanya, pada pendekatan kompetensi terlebih dahulu yang ditetapkan adalah kompetensinya.
Pendekatan kompetensi, dewasa ini mendapat perhatian kembali di sekolah dan sedang dalam tahap sosialisasi dan pengkajian. Inti pandangannya adalah bahwa setiap bahan ajar yang dipilih serta metode dan media yang digunakan harus diarahkan kepada pembentukan kompetensi siswa. Untuk setiap jenjang pendidikan, perlu ditetapkan kompetensi apa yang harus dikembangkan. Gagasan ini tampaknya didorong oleh hasrat perlunya menyiapkan sejak dini pembentukan SDM yang memiliki kemampuan handal, kompetitif, khususnya menghadapi persaingan global masa depan.
Pendekatan kompetensi sesungguhnya sudah agak lama dikenal dalam sistem pendidikan guru yang dikenal dengan PGBK (pendidikan guru berdasar kompetensi). Dalam bidang seni, pendekatan kompetensi menjadi bahan pembahasan dan disepakati sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembelajaran seni di Indonesia.
Konsep dasar pendekatan kompetensi adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Puskur-Balitbang Depdiknas, 2002).
Dimensi kompetensi mencakup aspek-aspek yang telah diuraikan di muka yaitu: Persepsi, Pengetahuan, Pemahaman, Analisis, Evaluasi, Apresiasi, dan Produksi.
Implikasi pendekatan kompetensi dalam aspek pelaksanaan adalah bahwa kegiatan belajar-mengajar terarah kepada suatu sasaran yang berbentuk kompetensi siswa setelah mengikuti suatu program dalam limit waktu tertentu. Pembelajaran tidak asal berlangsung, tapi terkontrol, bertahap, berkelanjutan. Persoalan dalam pembelajaraan seni adalah, bagaimana halnya dengan kompetensi yang bermuatan ekspresi-kreasi ? Ekspresi-kreasi sukar diduga, sukar diukur, sukar dilatih, karena dorongannya ada di dalam diri individu. Dalam hal ini, ukuran-ukuran kompetensi tak bisa lain kecuali bersifat fleksibel, multikriteria dan kualitatif, seperti terungkap dari kata-kata:"siswa memiliki kemampuan berapresiasi.. .,dst".
Pendekatan DBAE maupun pendekatan kompetensi sama-sama memiliki harapan agar pembelajaran itu berkualitas dan bermakna, tidak sekedar merasa cukup jika siswa ramai-ramai berkarya, tetapi karyanya itu-itu juga dari waktu ke waktu baik dalam tema, bentuk maupun gagasan.
F. Pendidikan Seni Rupa
sebagai Pendidikan Kreativitas dan Emosi
1. Pendidikan Kreativitas
De Francesco (1958) menyatakan bahwa pendidikan seni mempunyai kontribusi terhadap pengembangan individu antara membantu pengembangan mental, emosional, kreativitas, estetika, sosial, dan fisik. Aspek kreativiitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Apalagi di masa pembangunan ini, orang yang berdaya kreatif sangat dibutuhkan guna mengembangkan ide-ide yang konstruktif yang akan membantu pemerintah dan masyarakat dalam memajukan kehidupan dan berkebudayaan.
Pembinaan kreativitas manusia sebaiknya dilakukan sejak anak-anak. Kondisi lingkungan yang kreatif dan tersedianya kesempatan melakukan berbagai kegiatan kreatif bagi anak-anak akan sangat membantu dalam mengembangkan budaya kreativitasnya. Perlu dingat bahwa dunia anak-anak merupakan awal perkembangan kreativitasnya. Kreativitas itu nampak di awal kehidupan anakk dan tampil untuk pertama kalinya dalam bentuk permainan anak-anak (Hurlock, 1985:328).
Seni sebagai bagian dari kegiatan bermain menempati kedudukan yang sangat penting dalam pendidikan umum, terutama di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar, jika kita ingin memanfaatkan masa keemasan berekspresi secara kreatif untuk membina dan mengembangkan kreativitas anak-anak pada usia dini.
Masa keemasan berekspresi kreatif adalah pandangan Pierre Duquette yang menyediakan makalah untuk seminar Pendidikan Seni Rupa Internasional yang diselenggarakan di Bristol. Ia juga menegaskan bahwa pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun merupakan the golden age of creative expression. Ekspresi artistik merupakan salah satu kebutuhan anak-anak, oleh karena itu kebebasan berkarya dengan berbagai media dan metode pada kegiatan seni anak-anak menjadi pendekatan utama dalam pendidikan seni rupa.
Ruang lingkup bahan pengajaran Pendidikan Seni Rupa bagi anak-anak TK dan SD meliputi kegiatan berkarya dua dimensional dan tiga dimensional. Kegiatan menggambar, mencetak, menempel, dan kegiatan berkarya seni rupa dua dimensional lainnya yang menyenangkan anak dengan media dan cara-cara yang sederhana dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Juga kegiatan mematung, membentuk, merangkai, dan menyusun dari berbagai media dan dengan cara-cara yang menyenangkan anak akan membantu pengembangan kreativitasnya.
2. Pendidikan Emosi
Pentingnya pendidikan emosi telah diungkapkan para ahli pendidikan sejak lama. Fransesco (1958), seorang ahli pendidikan seni rupa mengemukakan tugas pendidikan seni rupa antara lain sebagai penghalus rasa dan pendidikan emosi. Dikemukakan, penguasaan emosi sangatlah penting, khususnya pada manusia di zamann modern. Dalam seni, emosi disalurkan ke dalam wujud yang memiliki nilai ekspresi-komunikasi. Kegiatan penguasaan dan penyaluran ekspresi tadi menjadi dinamis dan bersemangat.
Kini, perhatian kepada emosi semakin besar dan studi psikologi telah menemukan adanya kecerdasan emosi (emotional intelligence) yang saat ini mulai banyak dibicarakan. Psikologi telah mempelajari bahwa otak memainkan peranan dalam berbagai kegiatan manusia dalam fungsi-fungsi: kognitif, afektif (emosional, sosial), fisik (gerak) dan intuitif (Clark, dalam Hanna Widjaja,1996). Jadi untuk mencapai perkembangan integral, semua fungsi ini perlu dikembangkan.
Ditengarai, bahwa dalam kehidupan nyata, banyak persoalan yang dipecahkan secara jitu dengan menggunakan kecerdasan emosi yang sering kali mendahului berjalannya kecerdasan rasio (intelijen). Orang sering membedakan antara tindakan yang menggunakan otak dan hati. Mungkin sekali, nenek moyang kita zaman dahulu banyak mengaktifkan kecerdasan emosi dalam menghadapi tantangan lingkungannya.
Menurut Daniel Goleman, pakar dalam studi kecerdasan emosi, kompetensi dalam bidang pengendalian emosi atau kecerdasan emosi (EQ) dapat dipelajari dan ditingkatkan. Dikaitkan dengan pendapat ini, pendidikan seni rupa yang banyak melibatkan emosi, intuisi dan imajinasi dapat dijadikan salah satu cara yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan emosi.
Lebih jauh lagi, pendidikan seni dapat juga menjadi semacam penyembuh (therapy) atau penyehat mental dalam hal tercapainya kepuasan dan keberanian baru. Cara yang efektif untuk pendidikan emosi adalah memberi peluang dan stimulasi yang memungkinkan para siswa dapat bekerja dengan rasa aman serta penuh percaya diri. (Fransesco, 1958).
G. Pendidikan Seni Rupa dan Tujuan
Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UURI No.2 tahun 1989 Bab II Pasal 4). Pendidikan seni sebagai bagian dari Pendidikan Nasional, seyogyanya memperhatikan makna yang terkandung dalam pernyataan di atas dan berupaya untuk dapat menunjang pelaksanaannya.
Pendidikan seni rupa juga berperanan dalam menyeimbangkan kehidupan individu dalam pengembangan kepribadiannya, baik dalam aspek kecerdasan maupun perasaan dan kehendak. Lebih khusus lagi pendidikan seni dapat menghaluskan rasa, dan mengembangkan daya cipta, serta mencintai kebudayaan nasional, bahkan menghargai hasil-hasil kebudayan/kesenian dari bangsa manapun. Hal ini diperlukan dalam rangka menghadapi kehidupan yang semakin kompleks, yang ditandai dengan arus globalisasi akibat ledakan teknologi komunikasi.
H. Peranan Guru Seni Rupa
Guru memegang peranan penting dalam pendidikan seni.. Setiap guru seni perlu memahami kepemipinan bagaimana dan tanggung jawab apa yang dituntut para siswa serta bimbingan mana yang dapat memberi inspirasi kepada mereka; apa yang boleh dan yang tidak boleh dia lakukan. Di ruangan kelas, setiap saat guru senantiasa diperlukan para siswanya.
Peran kunci guru seni, tidak lagi terletak pada mengajarkan kepada siswa bagaimana cara menggambar, atau memberikan contoh gambar untuk ditiru siswa, tetapi lebih terfokus kepada penciptaan iklim belajar yang menunjang, suasana yang akrab serta adanya penerimaan guru atas pribadi para siswa yang beraneka ragam dengan karya dan gagasan mereka yang bervariasi pula. Dalam keseluruhan penyelenggaraan kegiatan seni di sekolah, peranan guru adalah memberi inspirasi, memberi kejelasan/klarifikasi, membantu menerjemahkan gagasan perasaan dan reaksi siswa ke dalam bentuk-bentuk karya seni yang terorganisasi secara estetis (Jefferson, 1969); atau, menciptakan iklim yang menunjang bagi kegiatan "menemukan", "eksplorasi" dan "produksi". Peranan ini dapat dimainkan guru, baik pada saat awal ataupun di tengah pelajaran sedang berlangsung. Tentu saja, untuk dapat berperan seperti ini guru seni perlu "mengasah" kepekaan rasa seninya secara memadai, melalui kegiatan belajar yang terus-menerus (belajar bisa diartikan: mengamati, menghayati, mengkaji atau berkarya).
Tugas-tugas guru seni sebetulnya cukup jelas dan spesifik tetapi jangan diartikan secara kaku. Yang penting, tetaplah berorientasi kepada kebutuhan belajar siswa. Tugas-tugas guru paling sedikit meliputi lima kegiatan penting, yaitu: (1) merancang, (2) memotivasi, (3) membimbing, (4) mengevaluasi, dan (5) menyelenggarakan pameran.
Berikut ini akan dibahas salah satu tugas yang sangat penting bagi guru dan perlu dikembangkan, tetapi sering diabaikan yaitu memotivasi.
Motivasi berasal dari kata "motif' yang berarti dorongan untuk berbuat. Jadi motivasi adalah proses yang memungkinkan perilaku seseorang digerakkan dan diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. (baca: Kleinginna & Kleinginna, 1981).
Sering dikemukakan orang bahwa dalam kegiatan berkarya seni, anak- anak tidak perlu dimotivasi, karena mereka sudah dengan sendirinya menyukai kegiatan ini. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, sebagaimana terbukti dalam kenyataan. Tidak semua anak secara spontan mampu berkreasi, sekalipun ia berada pada fase perkembangan yang disebut "the golden age of creative expression" (masa keemasan ekspresi kreatif), sekitar usia kelas I - III SD. Kiranya faktor lingkungan budaya turut memegang peranan dalam hal ini. Spontanitas berekspresi-kreatif pada anak hanya terjadi jika didukung oleh iklim yang menunjang dan melalui serangkaian pengalaman berkesenian, baik dalam bentuk kegiatan apresiasi maupun kreasi.
Beberapa cara yang dapat dijadikan alat motivasi oleh guru pada awal pelajaran seni rupa yaitu: insentif, membangunkan pengalaman pribadi (ingatan, asosiasi emosional), pengamatan langsung kepada objek di lingkungan, asosiasi gagasan dengan bahan/media dan perluasan pengetahuan.
Insentif di sini lebih diartikan sebagai penguatan (reinforcement) bersifat non-material, yang memungkinkan para siswa tergugah minatnya untuk mengikuti pelajaran. Bentuknya antara lain berupa: kata-kata pujian, gerak mimik, acungan jempol, atau tanda persetujuan dan penerimaan guru kepada siswa yang mengemukakan gagasan menarik. Hal ini dapat dilakukan terutama pada diskusi awal.
Membangunkan ingatan perlu dilakukan, untuk mengungkapkan kembali pengalaman siswa di masa lalu yang mungkin sudah dilupakan. Caranya, dengan melakukan pancingan-pancingan kata-kata, kalimat pernyataan atau pertanyaan yang tak perlu dijawab secara verbal.
Asosiasi emosional hampir sama dengan membangunkan ingatan, namun lebih diperdalam sehingga dapat menyentuh perasaan dan imajinasi siswa. Gagasan yang dikaitkan dengan ekspresi menghasilkan karya yang lebih berkualitas.
Asosiasi gagasan dengan bahan. Artinya, setiap jenis bahan yang digunakan memiliki karakter khusus yang memancing ide penciptaan. Bandingkan, apa yang mungkin dihasilkan oleh bahan tanah liat, pastel minyak/crayon, bubur kertas ? Guru perlu memberi sugesti tentang sifat bahan, variasi kemungkinan untuk menghasilkan bentuk-bentuk beraneka ragam, yang ditindaklanjuti dengan percobaan-percobaan oleh siswa.
Memperluas pengetahauan, artinya guru berupaya agar pengetahuan siap mengenai suatu objek yang telah dimiliki siswa, ditambah, diperkaya oleh guru maupun siswa-siswa lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan diskusi pada tahap awal (pra-kegiatan), pada waktu kegiatan sedang berlangsung atau setelah hasil karya selesai dibuat siswa. Pengetahuan yang luas akan memeperlancar proses kreasi, bahkan meningkatkan daya tarik hasil karya.
Akhirnya guru perlu memperhatikan juga kapan saat-saat yang tepat diberikannya motivasi, jangan sampai mengganggu siswa yang sedang asyik bekerja (Wachowiak dan Clements, 1993).
Jenis kegiatan dalam Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK atau Kertakes) sangat beragam. Untuk itu marilah kita pelajari beberapa variasi kegiatan yang semestinya kegiatan ini diujicoba oleh para guru sebelum memberikannya kepada anak-anak Sekolah Dasar. Dengan mencoba berbagai jenis kegiatan ini, para guru akan menemukan keunikan, kekhasan, dan hal-hal yang perlu disampaikan dalam tuntutan berkarya. Sehingga kegiatan pendidikan kesenian menjadi lebih menggairahkan anak, dan guru tidak kerepotan mencari materi kegiatan. Tetapi tetap saja kreativitas guru dituntut lebih berkembang dalam melakukan strategi pembelajaran yang ersifat membangun kreativitas siswa.
Untuk membantu para guru dan calon guru menentukan dan memilih kegiatan seni rupa, berikut ini dijelaskan secara garis besar beberapa jenis kegiatan atau materi praktik pendidikan senirupa.
A. Berkarya Seni Rupa Dwimatra (dua dimensi)
1. Membatik Sederhana
Bahan dan alat yang diperlukan: lilin, krayon, pewarna, kertas, kuas
sederhana, tempat air/pewarna, dan koran bekas.
Prosedur pengerjaannya:
(a) Membuat kuas sederhana dari kapas dengan lidi atau tusuk sate sebagai tangkainya. Kuas itu dibuat dengan cara melilitkan sejumlah kapas pada salah satu ujung lidi atau tusuk sate, besarnya kurang lebih sebesar ibu jari orang dewasa. Supaya tidak lepas, ujung lilitan kapas diikat dengan tali atau benang. Buat 3 buah kuas.
(b)    Menyiapkan pewarna. Pewarna yang dapat digunakan pada kegiatan membatik sederhana ini ada yang tergolong pada pewarna buatan dan pewarna alam. Yang termasuk pewarna buatan di antaranya: cat air, ontan/sepuhan (berbentuk serbuk), pewarna kue cair. Kunyit, daun suji, buah ganola, gambir adalah sebagian dari bahan pewarna alam.
Bila sudah ditentukan pewarna mana yang akan digunakan,buatlah larutan nya pada tempat pewarna yang sudah disediakan.
Usahakan larutan pewarna tersebut tidak terlalu encer. Siapkan beberapa macam warna, hal ini akan diperlukan bila akan membuat gambar yang memiliki banyak warna atau membuat campuran warna.
(c)    Membuat gambar. Buatlah gambar dengan lilin di atas kertas yang sudah disediakan. Kertas yang digunakan diantaranya: kertas gambar, kertas hvs, stensil. Tentu saja gambar tidak akan kelihatan.
(d)    Memunculkan gambar. Letakkan kertas yang sudah digambari di atas kertas koran. Pulaslah kertas tersebut dengan kuas sederhana yang terlebih dahulu dicelupkan pada larutan pewarna. Pemulasan dapat hanya dengan satu warna, bisa pula beberapa warna bergantung pada pilihan. Bila pada saat menggambar menggunakan lilin penerangan yang berwarna putih, maka garis-garis gambar akan berwarna putih. Apabila dikehendaki garis- garis gambar berwarna, pada saat menggambari kertas harus menggunakan krayon berwarna.
Karya Membatik Sederhana (Media Kertas, lilin, cairan warna)




2. Tarikan Benang
Bahan dan alat yang diperlukan: benang kasur, pewarna, kertas HVS/gambar, koran bekas (alas meja), tempat pewarna(wadah air kecil).
Prosedur pengerjaan:
(a)    Siapkan adonan pewarna seperti pada proses batik sederhana.
(b)    Ambil benang kasur sepanjang 40 - 45 cm. Celupkan sebagian besar benang tersebut pada larutan pewarna. Kalau larutan pewarna dirasakan terlalu banyak menempel pada benang, sebaiknya diperas dahulu. Pewarna yang terlalu banyak menempel pada benang akan mengakibatkan hasil yang kurang memuaskan.
(c)    Letakkan benang tersebut pada kertas yang sudah diletakkan di atas alas koran. Apakah letak benang mau diatur atau bebas bergantung pembuat. Ujung benang yang tidak terkena warna, harus ada di luar bidang kertas.
(d)    Lipatlah kertas tadi di tengah-tengah sisi panjangnya.
(e)    Sambil menekan kertas dengan salah satu telapak tangan, tariklah benang sampai keluar dari lipatan kertas. Arah tarikan bebas.
(f)     Buka lipatan kertas. Gambar apa yang terjadi?
(g)    Untuk menghasilkan beberapa bentuk dalam satu bidang gambar/ kertas, lakukan kegiatan yang sama seperti di atas. Dengan mengubah letak benang, akan diperoleh gambar baru.
Bila dikehendaki gambar berwarna (lebih dari satu warna), yang harus dilakukan adalah: menarik benang beberapa kali sesuai dengan jumlah benang yang dicelupkan pada warna yang berbeda, menarik satu kali tarikan seutas benang yang dicelupkan pada beberapa warna, menarik satu kali tarikan sejumlah benang yang sudah memiliki warna masing-masing.
Karya Tiupan Tarikan Benang (media kertas, benang, cairan warna)



3. Inkblot
Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini hampir sama dengan kegiatan tarikan benang. Malahan benangnya sendiri pada inkblot tidak diperlukan.
Prosedur pengerjaannya:
(a)    Teteskan warna yang sudah disiapkan terlebih dahulu di atas kertas yang sudah dialasi koran bekas.
(b)    Lipat kertas tersebut pada tengah-tengah sisi panjangnya.
(c)    Kertas yang sudah dilipat digosok dengan pinggir telapak tangan serata mungkin terutama pada bagian yang ditetesi pewarna.
(d)    Buka lipatan kertasnya! Gambar apa yang terjadi?
(e)    Untuk menghasilkan gambar yang berwarna lebih dari satu, ulangi beberapa kali kegiatan seperti di atas, tentu saja warna yang diteteskan kemudian harus berbeda dengan warna sebelumnya.
Karya Inkblot (media kertas, cairan warna)
Dengan meneteskan -sekaligus- beberapa warna pada permukaan kertas, dan kemudian melipat serta menggosoknya akan dihasilkan pula gambar yang multi warna.





4. Menggambar dengan Tiupan
Bahan yang diperlukan sama seperti inkblot, tambahannya adalah
sebuah sedotan minuman.
Proses pengerjaannya:
(a)    Teteskan cairan pewarna pada kertas yang sudah diletakkan di atas kertas koran.
(b)    Tiuplah tetesan warna itu dengan menggunakan sedotan. Sambil meniup, sedotan itu digoyang-goyangkan sehingga tetesan warna akan menyebar ke berbagai arah. Usahakan tidak ada ujung tetesan yang masih menggenang. Tiup sampai habis.
(c)    Dengan meneteskan beberapa warna berbeda dapat menghasilkan gambar yang beranekawarna.
Karya Gambar Tiupan (media kertas, cairan warna, sedotan sirup)


5. Cetak Penampang, Daun-daunan, dan Umbi-umbian
Bahan dan alat yang diperlukan: kertas, pewarna, pelepah daun, buah, daun-daunan, umbi-umbian, pisau, cutter, silet, alas pewarna, spon/busa, kapas, koran bekas.
Proses pengerjaannya:
(a)    Pilihlah penampang apa yang akan dijadikan acuan cetaknya pelepah daun atau buah-buahan. Pelepah daun yang sering dijadikan acuan cetak adalah: pelepah daun pisang, pelepah daun talas, pelepah daun pepaya. Buah belimbing dapat pula dijadikan sebagai acuan cetak.
(b)    Potonglah penampang bahan acuan cetak itu dengan pisau, cutter atau silet. Arah potongan bebas. Usahakan agar permukaan potongan rata. Kerataan permukaan potongan sangat menentukan hasil cetakannya.
(c)    Siapkan pewarna. Pewarna yang disiapkan bergantung dari keadaan bahan acuan cetaknya. Bila acuan cetaknya masih mengeluarkan getah/cairan, cukup disediakan serbuk pewarna saja. Pewarna akan menjadi cair setelah bersatu dengan cairan acuan cetak. Akan tetapi bila acuan cetaknya tidak mengeluarkan cairan, kita perlu menyediakan pewarna yang sudah dicampur dengan air.Pewarna serbuk, cukup disebarkan pada alas warna yang bentuknya datar dan rata misalnya: kaca, formica, lembaran plastik, piring. Penampang acuan cetak yang mengandung cairan digosok-gosokan pada serbuk warna yang ditaburkan di alas hingga rata, maka terjadilah warna yang siap pakai. Pewarna cair dapat dipulaskan pada busa/spon, atau pada kapas.
(d)    Mencetakkan acuan cetak. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan ikutilah petunjuk ini.
1)       Penampang acuan cetak yang masih basah tekankan
pada pewarna yang ada pada alas warna tadi.
2)      Selanjutnya tempelkan (sambil ditekan) acuan cetak tersebut pada kertas yang sudah diletakkan di atas koran.
3)      Kemudian angkat acuan cetaknya. Gambar acuan cetak akan tertera pada kertas. Untuk membuat bentuk/gambar yang sama, lakukan kegiatan seperti yang dilakukan sebelumnya beberapa kali bergantung kebutuhan pada kertas yang sama atau yang lain.
4)      Acuan cetak yang sudah kering (tidak mengeluarkan cairan), pengisian warnanya harus dengan cara menempelkan acuan cetak tersebut pada spon/busa, atau kapas yang sudah diisi pewarna. Pencetakannya sama seperti pada pencetakkan acauan cetak sebelumnya. Demikian pula pengulangan pencetakkannya.
5)      Perlu diperhatikan agar pewarna yang menempel pada acuan cetak tidak berlebihan, tidak pula kekurangan. Bila hal ini terjadi, hasil cetakannya tidak akan memuaskan.
Proses pencetakkan daun-daunan dilakukan sebagai berikut: (a) Pilihlah bentuk daun yang menarik serta ukurannya tidak terlalu lebar.



(b)    Siapkan pewarna pada alas warna seperti pada cetak penampang. Usahakan agar keadaan pewarna pada alas merata keadaannya, serta tidak terlalu encer.
(c)    Tempelkan permukaan daun tadi serata mungkin pada alas pewarna.
(d)    Selanjutnya permukaan daun yang sudah berwarna tadi tempelkan pada kertas yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Gosoklah permukaan daun itu dengan hati-hati. Agar aman dan leluasa menggosok, simpanlah kertas di atas permukaan daun tersebut.
Bila mencetakkannya sempurna, bentuk daun serta warna yang dipilih akan tergambarkan pada kertas.
Pada cetak umbi-umbian, kita harus membuat acuan cetak terlebih dahulu. Umbi-umbian yang biasa digunakan untuk acuan cetak diantaranya adalah: ubi jalar, kentang, talas, wortel, ketela pohon.
Proses kerjanya sebagai berikut:
(a)    Potonglah umbi yang sudah dipilih untuk acuan cetak serata mungkin.
(b)    Buatlah gambar/bentuk pada permukaan potongan yang rata tadi.
(c)    Selanjutnya hilangkan atau rendahkan bagian permukaan yang nantinya tidak akan memindahkan gambar/bentuk dengan jalan mengerat atau menorehnya.
(d)    Siapkan pewarna sebelum melakukan pencetakkan. Namun sebaiknya lihat kembali proses pencetakan penampang yang basah dan yang kering. Pada cetak umbi-umbian-pun berlaku hal seperti itu, karena ternyata ada umbi- umbian yang masih mengandung cairan dan sebaliknya. Oleh sebab itu untuk acuan cetak dari umbi-umbian yang masih basah, gunakan serbuk warna. Sedangkan untuk acuan cetak dari umbi-umbian yang sudah kering, pewarna harus dicampur dahulu dengan air. Sekali lagi tata cara pencetakkannya lihat proses cetak penampang.
Perlu diperhatikan agar pada proses cetak ini (penampang, daun-daunan, dan umbi-umbian), digunakan alas yang agak empuk. Alas yang keras kurang baik
hasilnya.
W
Karya Cetak Penampang (media kertas, penampang daun, pelepah pisang)



6. Cetak sablon
Alat dan bahan yang dibutuhkan: pisau, cutter, gunting, kuas, kapas, spon/busa, sisir, sikat gigi, kertas, pewarna, koran bekas, dan tempat pewarna.
Proses pengerjaannya:
(a)    Membuat acuan cetak dari kertas: buatlah gambar/bentuk untuk acuan cetaknya. Torehlah kontur/pinggir gambar tadi sampai tembus.
(b)    Siapkan pewarna. Buatlah campuran warna pada tempat yang disediakan. Pewarna pada proses sablon ini sama dengan pewarna yang digunakan pada proses cetak sebelumnya. Kita dapat menggunakan cat air, ontan/sepuhan, pewarna kue cair, atau pewarna alam yang sudah disebutkan sebelumnya.
(c)    Letakkan acuan cetak di atas kertas yang masih utuh. Acuan cetak harus menempel serapat-rapatnya agar tidak terjadi kebocoran pada saat pemulasan/pencetakkan. Sebaiknya kertas tersebut dialasi kertas koran.
(d)   Ambil kuas, celupkan ke pewarna, selanjutnya pulaskan pada acuan yang ditoreh tadi.Bila pewarnaan menggunakan kapas atau spon yang dicelupkan pada pewarna, tentu saja tidak dipulaskan seperti kuas namun kapas atau spon itu ditekan-tekankan pada lubang acuan cetaknya.
Karya Sablon Sederhana (Percikan Warna pada kertas)
Cara sederhana lainnya kita gunakan sikat gigi dan sisir untuk memberi warna hasil cetakan. Dengan menggosokkan sikat gigi yang terlebih dahulu dicelupkan ke pewarna pada sisir, akan terjadi cipratan pewarna yang akan melalui lubang- lubang acuan cetaknya. Hasil cetak berwarna pada proses ini dapat diatur pada saat memulaskan atau menyemprotkan pewarna. Bidang mana serta warna apa yang dipilih bergantung pada pilihan masing-masing.




7. Monoprint
Alat dan bahan yang diperlukan: rol karet, pewarna, alas pewarna (kaca,
permukaan benda yang rata dan licin), dan kertas.
Prosedur pengerjaan:
            Siapkan pewarna. Pewarna pada proses monoprint biasanya lebih kental dan agak lengket bila dibanding dengan pewarna yang digunakan pada proses cetak lainnya. Pewarna yang berbentuk serbuk (ontan/sepuhan) ditaburkan di atas alas pewarna yang permukaannya datar dan ukurannya cukup lebar, campurkan sedikit air dan tambahkan glycerine beberapa tetes diaduk dengan rol karet/plastik (digelindingkan) hingga rata.
            Siapkan pula rol karet/plastik sederhana bisa dibuat dari bahan yang sederhana pula. Caranya sebagai berikut: siapkan slang plastik yang berdiameter % inchi sepanjang 15 cm, isi bagian dalam slang itu dengan kayu yang bulat lubangi masing-masing ujung kayu itu ditengahnya setelah sebelumnya dirapikan dahulu potongannya, gunakan kawat jemuran yang agak besar untuk as dan sekaligus pegangan rol tersebut.
            Setelah keadaan pewarna cukup merata pada alasnya, simpan kertas kosong di atasnya. Jangan ditekan.
            Gambari kertas tersebut dengan benda yang agak runcing, pinsil, ballpoint, atau yang lainnya. Tekanan benda tadi akan mengakibatkan warna yang ada pada alas pewarna akan berpindah menempel pada kertas.
            Gambar yang terjadi akan terbalik keadaannya.
Karya Monoprint


8. Finger Painting (lukisan jari tangan)
Bahan yang diperlukan: kertas gambar, hvs, atau sejenisnya, bubur
terigu, pewarna, kertas koran bekas, dll.
Prosedur pengerjaan:
(a)    Letakkan kertas gambar atau sejenisnya di atas alas koran.
(b)    Selanjutnya letakkan bubur terigu di atas kertas gambar tersebut secukupnya. (Bubur terigu dibuat dari 2 bagian tepung terigu dicampur 5 bagian air, diaduk rata, selanjutnya dipanaskan di atas api sampai "matang").
(c)    Campurkan pewarna pada bubur yang diletakkan pada kertas, kemudian aduk hingga rata.
(d)    Mulailah menggambar dengan jari-jari tangan dengan cara menekan menarik, mendorong, menyeret, bubur berwarna pada kertas tadi.
Karya Lukisan Jari Tangan (media kertas, pasta warna)



9. Kolase
Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, kertas warna, kertas limbah, bahan alam, potongan kain, lem, pinsil, gunting, atau/dan cutter.
Prosedur pengerjaan:
(a)    Buatlah rancangan/gambar yang akan diselesaikan dengan kolase pada kertas gambar yang disediakan.
Karya Kolase (tempelan kertas warna)

(b)   Jiplakkan bentuk/gambar pada warna sesuai pilihan, potong/gunting secermat mungkin. Kemudian tempelkan bentuk/gambar tersebut menggunakan lem pada tempat yang sudah dirancang tadi. Warna yang digunakan dapat diambil dari kertas warna, potongan kain, limbah percetakan, limbah alam (daun, kulit pohon dan sebagainya).




10. Montase
Bahan dan alat yang diperlukan: gambar dari majalah/koran/kalender bekas, atau reproduksi potret, gunting, cutter, lem. Prosedur pengerjaan:
(a)    Potonglah gambar-gambar atau reproduksi potret dari majalah, poster, kalender atau lainnya mengikuti kontur gambar/potret tersebut. Gambar yang dipotong mungkin hanya bagian tertentu saja.
(b)    Susunlah hasil guntingan tadi berdasarkan kreasi masing-masing, pada kertas gambar yang sudah disediakan. Susunan gambar tadi akan menghasilkan suatu susunan bentuk yang baru, dan kadang-kadang aneh, lucu, dan fantastik. Penyusunannya menggunakan lem.
Untuk memberikan kesan gambar yang artistik dan fantastik, gambar montase ini bisa dilengkapi dengan goresan spidol warna, atau pulasan cat air pada bagian tertentu yang dianggap perlu.
Karya Montase (media: Kertas warna, kelender/majalah bekas, lem, gunting)


11. Mosaik
Bahan pokok yang dapat dimanfaatkan untuk membuat mosaik ini sangat beragam. Bahan tersebut misalnya: potongan kertas, lempengan kayu, kaca, potongan keramik, marmer, biji-bijian, batu-batuan. Alat yang digunakan untuk mengerjakan bahan tersebut disesuaikan dengan jenis bahan yang akan ditempelkan, misalnya: triplekss atau karton (sebagai bidang dasar), pensil (untuk merancang pola gambar), lem (kertas, aibon, lem putih/kayu), cutter (pisau).
Prosedur pengerjaan:
(a)    Buat rancangan, gambar pada kertas yang disediakan.
(b)   Sediakan bahan yang akan ditempelkan.
(c)    Tempelkanlah bahan-bahan yang sudah disediakan itu pada tempat yang sudah dirancang. Perlu diingat bahwa ukuran dari bahan yang ditempelkan umumnya sama. Pada satu hasil karya mosaik, mungkin saja ada beberapa kelompok ukuran.


Karya Mozaik (tempelan bahan alam/biji-bijan dan kertas) 12. Menggambar Bentuk
Menggambar bentuk adalah kegiatan menggambar dengan meniru kemiripan bentuk benda model yang disimpan di depan penggambar. Bagi anak SD kemiripan tidak selalu harus seperti memotret, tetapi yang penting adalah bagaimana anak-anak bisa mengekspresikan ide/gagasan tentang bentuk benda yang diamatinya itu. Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, benda/model yang akan digambar, pinsil hitam/pinsil warna/ballpoint/spidol.
Prosedur pengerjaan:
(a)    Tempatkan benda/model yang akan digambar di tengah anak-anak yang akan menggambar.
(b)    Anak-anak menggambar benda dengan mencontoh langsung benda yang dijadikan modelnya sesuai posisi mereka.
(c)    Penyelesaian akhir gambar bisa hanya hitam putih, hanya dengan pinsil saja, dengan ballpoint, atau mungkin dengan pinsil warna.
Mobil juga bisa menjadi objek menggambar bentuk





Vas Bunga yang disimpan di meja bisa juga digambar 13. Menggambar Dekoratif
Menggambar dekoratif ialah kegiatan menggambar hiasan (ornamen) pada kertas gambar, atau pada benda tertentu. Sifat dekoratif pada gambar menunjukkan fungsi gambar sebagai hiasan (motif hias). Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, pewarna, kuas, pinsil hitam/pinsil warna/spidol.
Prosedur pelaksanaannya:
(a)    Buat rancangan atau gambar berupa motif hias/ornamen pada kertas yang sudah disediakan atau benda 3 dimensi tertentu.
(b)    Motif hias bisa berupa stilasi dari alam (fauna, flora, alam benda), abstrak, atau geometris.
(c)    Penyelesaian akhir gambar seperti pada gambar bentuk, hanya hitam putih saja, atau berwarna.
(d)   Warna-warna yang digunakan bisa diambil dari: pewarna buatan, atau pewarna alam.
'Kx r             A L*                             /IX                    \l /1, v 1
Karya Menggambar Dekoratif (merancang motif tekstil)


14. Menggambar Ilustrasi
Menggambar ilusrtrasi adalah kegiatan menggambar dengan tujuan untuk melengkapi suatu cerita, teks, atau sebagai penjelasan visual dari suatu bagian tulisan. Tulisan yang dimaksudkan bisa berupa cerita fiksi ataupun nonfiksi (pelajaran, ilmu pengetahuan). Bahan dan alat yang diperlukan: kertas gambar, pinsil hitam, pinsil berwarna, spidol warna, tinta, cat air, kuas cat air.
Prosedur pelaksanaan.
(a)    Membuat rancangan gambar sesuai dengan tema. Misalnya kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran. Rancangan dibuat dengan pinsil hitam pada kertas gambar.
(b)   Penyelesaian akhir gambar seperti pada gambar bentuk atau gambar dekorasi. Gambar cukup hitam putih, menggunakan pinsil hitam atau tinta, dapat juga diselesaikan dengan menggunakan warna. Warna dapat diambil dari pinsil warna, spidol warna, atau cat air.
Hasil karya menggambar Ilustrasi: Jembatan


15. M3 (melipat, menggunting, menempel)
Kegiatan melipat, menggunting dan menempel (M3) merupakan permainan menciptakan kreasi bentuk dengan menggunakan bahan kertas (yang berwarna sebaiknya). Bahan dan alat yang diperlukan: kertas agak tebal, kertas berwarna, lem, gunting/cutter. Prosedur pengerjaan:
(a)    Ambil selembar kertas warna. Lipat di tengah-tengah sisi panjangnya. Selanjutnya hasil lipatan tadi dilipat lagi pada tengah-tengah sisi panjangnya.
(b)    Hasil dua kali lipatan tadi digunting pada beberapa tempat. Ada bagian yang dibuang. Bentuk guntingan bergantung pada kreasi masing-masing.
(c)    Bila dianggap sudah cukup guntingannya, lipatan dibuka.
(d)    Hasilnya ditempel pada kertas yang agak tebal menggunakan lem.
(e)    Jumlah lembaran yang ditempel bervariasi baik dalam jumlah maupun warnanya.
Karya M3 (Melipat, menggunting dan menempel)


Karya M2 (menggunting dan menempel)


16. Menganyam
Keterampilan anyam merupakan kerajinan yang sudah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan kerajian ini pada awalnya memiliki bentuk sederhana sebagai karya seni untuk memenuhi kebutuhan praktis sehari-hari, perkembangan berikutnya kemudian menjadi benda-benda sebagai hiasan. Jenis kegiatan anyam ini beraneka ragam baik dari segi bahan, maupun jenis motif anyaman yang digunakan bentuk benda yang dihasilkan.
Bahan-bahan yang sering digunakan orang untuk kerajinan anyam berasal dari bahan baku alam seperti: bambu, rotan, mendong,
pandan..... maupun bahan buatan (sintetis) seperti kertas, pita plastik dan
sebagainya. Dari segi jenis motif yang digunakan dikenal nama-nama motif anyam mata itik, mata kebo, hujan gerimis, daun asam, katuncar mawur, dsb. Hasil kegiatan anyam dapat berbentuk anyaman datar maupun anyaman bentuk benda.
Kegiatan kerajinan anyam di sekolah dasar dapat dilakukan pada jenjang kelas atas (kelas IV - VI). Pada umumnya kegiatan anyam pada jenjang pendidikan sekolah dasar ini banyak berupa anyam datar, mengngat kemampuan siswa masih terbatas. Selain tiu bahan yang dapat digunakan juga disesuaikan dengan bahan-bahan yang tersedia abaik bahan baku yang berasal dari alam maupun bahan baku buatan yang sudah dijual di masyarakat.
Untuk memudahkan kita mengajarkan menganyam, maka terlebih dahulu kita harus memberikan pengertian dan penjelasan secara teori maupun secara praktek kepada siswa yang berkaitan dengan keterampilan ini. Agar tidak bersifat verbalisme, kita dapat mengenalkan motif-motif yang dapat dikerjakan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Berikut ini beberapa contoh motif anyam:


Motif Lengko
Motif Pasung
Motif Mata Walik


Motif Petai Silang
B. Berkarya Seni Rupa Trimatra (tiga dimensi)
1. Membutsir
Membutsir adalah membentuk tanah liat atau lilin (plastisin/malam) menjadi bentuk mainan, patung kecil atau bentuk tertentu berdasarkan daya cipta. Sebelum dibentuk, tanah liat sebaiknya dibersihkan dahulu dari butiran batu atau pasir yang kasar, lembutkan adonannya dengan tangan. Jika terlalu lembek biarkan (diangin-anginkan) hingga kadar airnya berkurang, dan jika dipegang tanah tidak lengket pada tangan kita. Namun jika menggunakan plastisin (lilin/malam), tidak akan terjadi masalah pengolahan bahan. Pada tahap pertama, buatlah bentuk global (dari benda yang akan diciptakan), kemudian buatlah bentuk rincinya setahap demi setahap. Untuk menghaluskan permukaan bentuk, gunakan alat butsir (dari kawat atau kayu yang dibuat menyerupai jari tangan).
Teknik Membutsir dalam pembuatan patung kepala



Dua karya hasil kegiatan membentuk dari bahan tanah liat




Merangkai dari potongan kertas                       Merangkai dari bahan bekas

2. Merangkai
Marangkai ialah menyusun atau menyambungkan bagian benda yang satu ke benda yang lain hingga membentuk suatu komposisi yang utuh berkesatuan. Susunan atau rangkaian tersebut menciptakan struktur bentuk, baik bentuk abstrak ataupun naturalistis. Benda yang disusun bisa berupa buah- buahan, sayur-sayuran, bunga-bungaan, benda-benda bekas (limbah: kertas, dus, kaleng, botol plastik, kotak korek api, dsb). Teknik merangkai bermacam- macam, ada yang dihekter, dilem, dipatri, diikat, tergantung dari kebutuhan dan kemungkinan kekuatan dari konstruksi susunan tersebut. Kegiatan in bisa berupa kegiatan: merangkai bunga, merangkai janur, merangkai manik-manik, membuat jembatan dari dus bekas, membuat maket rumah-rumahan dari kotak korek api, dan sebagainya.




3. Membuat Topeng Kertas
Membuat topeng kertas termasuk ke dalam pokok bahasan membentuk. Topeng dapat dibuat dengan cara: (a) memakai cetakan, dan (b) tidak memakai cetakan. Membuat topeng yang memakai cetakan, tentu saja tahap pertama ialah membuat model cetakan (dari bahan lunak, misalnya tanah liat, atau plastisin). Setelah itu barulah menempeli cetakan itu dengan lembaran kecil-kecil kertas koran bekas yang dibasahi terlebih dulu. Selanjutnya dibalur lem putih/kanji untuk kemudian ditempeli lagi potongan kecil kertas koran secara berulang- ulang hingga tebal. Lapisan tempelan itu bisa 4 atau 5 lapisan. Setiap lapisan dibubuhi lem putih. Setelah sehari kering, barulah kita lepaskan topeng itu dari cetakan. Perlu diperhatikan, agar topeng mudah dibuka dari cetakan, maka cetakan terlebih dahulu harus dibalur oleh minyak (stempet, mentega, atau oli). Jika topeng ingin lebih menarik, tentu saja memerlukan pengecatan. Di sinilah anak-anak juga melakukan kegiatan menggambar dekoratif pada permukaan topeng. Jadi dua pokok bahasan dapat diterapkan pada satu topik kegiatan yaitu membuat topeng.
Cara membuat topeng yang kedua lebih mudah karena tanpa harus membuat cetakan. Pertama, siapkan bahan karton tebal (jenis dupleks atau karton dus bekas) seukuran kuarto/A4 atu selebar wajah. Setelah itu ukurkanlah kertas itu dengan lebar wajah anak (yang membuatnya). Jiplak dan guntinglah bentuk dasar wajah itu. Kini karton tersebut tinggal digambari dengan spidol atau cat untuk bentuk mata, hidung dan mulut. Letak bagian-bagian wajah ini harus tepat sesuai wajah yang membuatnya. Untuk membuat hidung, perlu ditambah dengan menempelkan bagian karton lain yang dibentuk limas segi-3 (seperti bentuk hidung). Jangan lupa mata dan hidung dilubangi dengan pisau/gunting. Sebagai langkah terakhir ialah pengecatan topeng. Proses terakhir ini merupakan kegiatan menggambar dekoratif, sebab tujuannya untuk menghiasi topeng wajah dengan spidol warna, cat air, cat poster, atau krayon.
Karya Topeng kertas yang telah dicat (untuk keperluan drama/tari)


4. Membuat Wayang Kertas
Membuat wayang kertas termasuk kegiatan menggambar dan sekaligus membentuk. Teknik membuat wayang kulit dijadikan sebagai acuan prosedur kerja. Prosesnya dimulai dengan penggambaran rancangan pada karton (setebal kulit, misalnya dupleks atau karton bekas dus), pengguntingan pola/rancangan itu, menyungging (untuk kulit atau melubangi kertas dengan psau atau pahat) dan yang terakhir pewarnaan atau penggambaran (dekoratif) pada wayang kertas tersebut berdasarkan kebebasan berkreasi anak-anak.


Gunungan dan Wayang Kulit dari bahan kertas
C. ORIGAMI (Seni Melipat Kertas)
Di Jepang, seni melipat kertas ini dinamakan Origami. Kertas yang digunakan ialah kertas tipis (70 - 100 gram) berukuran bujur sangkar (segi-4 beraturan sama sisi). Dengan melipat kertas kita dapat membuat aneka bentuk hiasan dan mainan yang tiga dimensional, serta mendekati rupa makhluk hidup atau benda sehari-hari yang akrab dengan lingkungan kita. Oleh karena yang disajikan pada lembaran ini hanya beberapa contoh lipatan, maka untuk memperkayanya, kembangkan imajinasi dan fantasi Anda dengan mencoba menciptakan beberapa bentuk lain dengan teknik melipat. Ikuti urutan (berdasarkan nomor) tentang prosedur kerjanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERANGKA KERJA KURIKULUM PENDIDIKAN SENI RUPA DI SEKOLAH DASAR